Artikel menarik dari Prof. Priyo Subrobo
SUATU BENTUK PENIPUAN BARU
Majalah Globe Asia, sebuah majalah baru dengan positioning untuk eksekutif bisnis yang diterbitkan oleh kelompok Lippo, pada edisi Pebruari 2008 membuat pemeringkatan PTN dan PTS. Hasilnya adalah cukup mengagetkan, dimana UPH (Universitas Pelita Harapan) ,
yang juga dimiliki oleh kelompok Lippo, mengalahkan ranking PTN PTN terkemuka maupun PTS-PTS terkemuka di Indonesia. Sebagai contoh, total score UPH (356) “diposisikan” mengalahkan 5 besar PTN seperti UGM (338), ITB (296), IPB (283), UNAIR (279), dan ITS
(258). UPH juga “diposisikan” mengalahkan PTS terkemuka seperti TRISAKTI (263), ATMAJAYA (243), UNPAR (230), dan PETRA (151).
Sebagai seorang akreditor Perguruan Tinggi yang telah bertahun-tahun mengakreditasi kebanyakan PTN maupun PTS, termasuk pernah mengakreditasi UPH dan Perguruan Tinggi lain sebagaimana yang disebutkan diatas, maka saya merasa aneh dengan “pemosisian” ranking oleh Globe Asia tersebut.
Keanehan pertama, Globe Asia menggunakan kriteria-kriteria yang meskipun “mirip” dengan lembaga pemeringkat Internasional, tetapi
memberi “bobot” yang berbeda. Sebagai contoh, fasilitas kampus diberi bobot 16%, sementara kualitas staff akademik (Dosen) hanya dibobot 9%. Lebih parah lagi, kualitas riset hanya dibobot 7%. Keanehan kedua adalah sub kriteria dari fasilitas kampus misalnya
tidak memasukkan kapasitas bandwidth sebagaimana standar akreditasi yang ada.
Keanehan ketiga adalah sistem membandingkan yang tidak berbasis kaidah logis dasar “apple to apple” (kesederajatan).
Bila kita menilik standar akreditasi, maka ada akreditasi dalam negeri oleh DIKNAS (BAN PT), regional asia (Asia University Network, AUN), maupun sistem akreditasi pemeringkatan dunia (THES, Jiao Tong, Webbo). Akreditasi dalam negeri, regional,
maupun dunia menggunakan kriteria-kriteria dan KPI (Key Performance Indicator) yang “logis secara akademis”. Artinya adalah bahwa kriteria tersebut(meskipun bervariasi) adalah memang benar-benar akan menunjukkan “jaminan mutu” dari input, proses, sarana pendukung, hingga outcome produknya. Tidak ada dari kriteria dan sub kriteria yang hanya menunjukkan keunggulan “kemewahan
lifestyle” sebagaimana yang ingin ditonjolkan dalam hasil Globe Asia Ranking. Demikian juga halnya dengan membandingkan antara Universitas dengan Institut yang nature kriterianya pasti berbeda, misalnya di Institut teknik manapun tidak ada yang mempunyai Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran sebagaimana sub kriteria ranking yang dibuat Globe Asia.
Dengan demikian, maka ranking yang dilakukan Globe Asia akan menjadi suatu bentuk “penipuan” informasi yang bersifat “buble” kepada publik, khususnya orang tua mahasiswa dari kalangan eksekutif sebagai target pasar majalah tersebut. Penipuan ini menjadi meluas ketika dirilis secara “tidak kritis” oleh koran Suara Pembaruan, 29 Januari 2008.
Mungkin fenomena seperti ini adalah akibat dari komersialisasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi, telah menjadi komoditas yang “empuk” untuk menaikkan status sosial pemilik hingga meraup keuntungan yang besar. Ditangan para
pesulap bisnis, maka pendidikan juga dikelola dengan image “Lifestyle” (gaya hidup), bukan dengan image “Qualistyle” (gaya kualitas). Mereka menyusun ranking sesuai dengan “Strength” yang dimilikinya, sekaligus menyembunyikan “Weakness” yang seharusnya menjadi
kriteria akreditasi. Akibatnya adalah bahwa segala cara akan dilakukan yang penting target meraih mahasiswa selama periode marketing setiap awal tahun (Pebruari sampai Juli) mampu dicapai dengan memuaskan.
Buble informasi yang dilakukan Globe Asia untuk menaikkan citra UPH tersebut secara langsung akan mengganggu citra beberapa PTN maupun PTS yang dikelola dengan kaidah jaminan mutu yang baik. Sebagai gambaran, sistem Webbo Rank (Juli 2007) yang merupakan
sistem akreditasi dunia pada penekanan kriteria kerapihan manajemen data menempatkan PTS terkenal di kawasan Timur, yaitu Universitas Petra dalam ranking ke 49 Se Asia Tenggara, UGM dan ITB adalah ranking ke-12 dan 13. Dalam Webbo rank Juli 2007 itu tidak ada kelas ranking UPH, padahal webbo rank adalah sistem dunia yang dianggap “paling sederhana”.
Oleh karena itu, maka sudah saatnya pemerintah sebagai regulator bersama-sama dengan masyarakat untuk secara aktif mengawasi pola komersialisasi pendidikan yang dampaknya menggunakan cara cara tidak “fair” dalam rangka merekrut mahasiswa. Hasil kerja dari
Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang membuat 15 standar penilaian antara lain : tata kelola kepemimpinan, fasilitas lab, alumni, jumlah Guru Besar (tidak perlu harus expert asing), rasio Dosen dengan Mahasiswa, prestasi Mahasiswa, hingga rasio antara jumlah peminat dengan yang diterima adalah merupakan kriteria yang sangat lengkap untuk menunjukkan daya saing suatu Perguruan Tinggi.
Daya saing pendidikan tinggi sebagaimana yang diamanatkan dalam konsep strategis HELTS DIKTI (Higher Education Long Term Strategy) haruslah dicapai dengan sistem penjaminan mutu yang benar, sehingga hasilnya bisa dilihat salah satunya dengan kriteria akreditasi yang logis secara akademis, bukan logis secara pendekatan bisnis. (PS)
Pidato:Prof.Ir. Priyo Suprobo, MS., PhD
Rektor ITS dan Tim Akreditasi PT-DIKTI
MOBILLE SCHOOL LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT YANG TERPINGGIRKAN DI KOTA BANDUNG
Deklarasi dakar tahun 2000 tentang pendidikan untuk semua (PUS) yang berisi 6 pokok, mengisyaratkan semua negara yang menandatangani meratifikasi UU pendidikan di negaranya masing-masing. Indonesia adalah salah satu negara tersebut, melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Wajar Dikdas). Untuk itulah menuju PUS Indonesia memakai Wajar dikdas sebagai Implementasinya.
Kita mengetahui bahwasannya pendidikan merupakan hak setiap orang tanpa memandang status ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah lokal harus berupaya menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Pemerintah lokal telah dapat menyelenggarakan bentuk layanan pendidikan secara formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di tempat yang telah disediakan seperti sekolah.
Namun bagaimana dengan bentuk layanan pendidikan non formal?. Layanan pendidikan non formal dapat diartikan sebagai bentuk layanan pendidikan diluar jalur formal misalkan proses pendidikan di tempat kursus, bimbingan belajar, kejar (kegiatan belajar) paket A B C, dan tempat belajar lain diluar sekolah. Model-model layanan pendidikan non formal ini biasanya diselenggarakan pada sebuah tempat yang sifatnya menetap. Namun kelemahan model ini adalah masih adanya beberapa kalangan masyarakat yang belum tersentuh layanan pendidikan. Oleh karenanya dibutuhkan cara-cara kreatif dari pihak yang berwenang untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah Kota Bandung telah menemukan cara-cara kreatif untuk menanggulangi masalah seperti tersebut diatas dengan menggunakan pola sekolah bergerak untuk kebutuhan layanan pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan. Konsep yang ditawarkan adalah dengan konsep mobille school. Dengan konsep ini diharapkan agar seluruh warga kota Bandung yang belum tersentuh pendidikan dapat menggunakan fasilitas tersebut tanpa mengelurkan biaya sedikitpun, karena mobille school yang pada operasionalnya dengan menggunakan kendaraan bergerak menjangkau mereka. Konsep mobile school merupakan program yang dirancang untuk menjaring siswa putus sekolah atau drop out (DO), khususnya anak jalanan agar termotivasi kembali ke bangku pendidikan.
Pemerintah akan menjamin mereka yang termotivasi untuk disalurkan ke sekolah-sekolah terdekat dengan cara menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah agar calon siswa yang tertarik bisa langsung disalurkan sesuai dengan kebutuhannya, baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Pengawasan program dilakukan pihak terkait setiap saat agar pelayanan pendidikan dengan konsep ini dapat mengena dan tepat sasaran. Masyarakat dapat turut berpartisipasi, agar proses layanan pendidikan dengan mobile school dapat berjalan dengan lancar. Karena pendidikan adalah investasi dan kunci untuk memajukan bangsa dari ketertinggalan.
ADA APA DENGAN GURUKU?

Seorang guru akan berusaha mendidik siswanya sampai mereka mengerti dan paham atas apa yang diajarkannya, bahkan seorang guru rela berkorban demi menghasilkan siswa-siswi yang berkualitas dalam ilmu pendidikan.
Akan tetapi, lain halnya dengan predikat guru saat ini, yang sudah mulai diabaikan bahkan oleh para siswa-siswinya sendiri. Ada apa dibalik semua itu? semua itu terjadi akibat kecerobohan guru itu sendiri. guru berusaha mendidik dan mengajarkan siswa-siswinya sampai mereka mengerti dan paham. bahkan seorang guru sangat sabar ketika menghadapi siswa yang sulit untuk dididik. akan tetapi ketelatenanlah yang menjadikan siswa-siswinya akhirnya dapat paham dan mengerti apa yang diajarkan oleh guru. namun semua pengajaran yang diberikan oleh seorang guru selama ini, terasa tidak ada artinya tatkala UN tiba. mengapa demikian? karena jika kita lihat dari awal siswa-siswi masuk sekolah mereka diberikan pemahaman-pemahaman dan pengajaran secara terus-menerus, akan tetapi tatkala UN itu tiba guru tersebut jugalah yang malah memberitahu atas kunci jawaban tersebut. karena kekhawatiran para guru terhadap siswa-siswinya tidak lulus saat UN.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa dengan sebuah nilai mereka dapat menyatakan sebuah kelulusan tanpa memikirkan kualitas dan jerihpayah seorang guru selama ini.
Para guru tersebut menganggap dengan seperti itu mereka menyayangi siswa-siswinya. padahal anggapan tersebut salah besar. justru malah mengajarkan para siswa-siswinya menjadi generasi muda yang tidak jujur. karena dengan tindakan seperti itu, selain menjadi bodoh juga secara tidak langsung telah melahirkan generasi muda yang tidak mandiri.