Wednesday, April 29, 2009

pemberian gaji ke-13 bagi PNS, TNI dan Polri pada 2009

menjanjikan kenaikan gaji dan pemberian gaji ke-13 bagi PNS, TNI dan Polri pada 2009

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah kembali menjanjikan kenaikan gaji dan pemberian gaji ke-13 bagi PNS, TNI dan Polri pada 2009 untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.”Ini sebagaimana keinginan presiden yang meminta bahwa selama beliau menjadi pemimpin, upah rill PNS harus semakin sejahtera, termasuk TNI dan Polri,” kata Menkeu, saat menyampaikan pengarahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2008 di Jakarta, Selasa (6/5).

Dikatakannya, saat awal pemerintahan Presiden Yudhoyono, upah terendah untuk PNS adalah sekitar Rp700 ribu per bulan, sedangkan saat ini berada pada sekitar Rp1,6 juta per bulan.

Upah terendah itu bagi PNS dengan nol pengalaman dan merupakan kelompok terendah,” katanya.

Presiden sendiri, katanya, meminta agar upah terendah bisa naik menjadi sekitar Rp2 juta per bulan.

Meski demikian, Menkeu tidak menjelaskan berapa persen kenaikan gaji tersebut akan diberikan pada tahun depan. (*/lin)(kapanlagi.com)

Hasil Rekapitulasi Propinsi Sumsel Bermasalah

Rekapitulasi suara yang dilakukan KPU terhadap penghitungan suara di Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dinilai bermasalah oleh beberapa saksi parpol. Hasil rekapitulasi dinilai syarat dengan kecurangan.

"Ada indikasi kecurangan dalam pembuatan sertifikat suara dengan adanya temuan Panwas bahkan bukti-bukti yang ada cukup kuat. Seperti penghitungan DPT di Dapil Sumsel 1," ujar saksi dari PDIP Arip Wibowo saat mengawal jalannya rekapitulasi di KPU di Hotel Borobudur, Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat,
Rabu (29/4/2009).

Menurut Arif, ada selisih suara pemilih sebesar 68.108 yang sampai saat ini belum bisa dijawab oleh KPU propinsi Sumsel. Jumlah DPT di Sumsel Dapil 1 seharusnya 2.434.049, tetapi tertulis oleh KPU propinsi hanya sebesar 2.365.941.

"Ini memang jumlah suara yang cukup besar dan ada sesuatu yang tidak beres," jelasnya.

Untuk itu, Arif bersama saksi lain tidak akan menandatangani hasil rekap. "Sama seperti hasil Bengkulu kemarin," imbuhnya.

Sidang sempat berlangsung alot. Akhirnya, pleno diputuskan ditunda dan akan dilanjutkan besok pagi.

( mad / ndr )(detik)

Tragedi Futsal Liga Antropologi

Tragedi Futsal BerdarahPertandingan Futsal LIga Antropologi ynag berlangsung sore tanggal 29 April 2009, berakhir rincuh. Turnamen Futsal yang diprakarsai oleh Dep.Antropologi seharusnya menadi wahana solidaritas serta kebersamaan warga FISIP harus ternodai oleh salah satu pemain yang notabenenya berasal dari tim penyelenggara turnamen ini.

Gesekan antara pemain IIP dan Antropologi ini bermula dari salah satu pemain Antopologi yang terpancing emosinya hanya karena sebuah body change pemain IIP. pertandingan semakin runyam, ketika salah satu pemain lain dari Antropologi turut memperkeruh keadaan dan bisa dipastikan berujung menjadi ajang tawuran bagi para akademisi kampus.

Hal itu tidak perlu terjadi, tatkala pemain menyadari semangat sportivitas serta kedewasaan emosional. lagipula gesekan dalam sebuah pertandingan olahraga adalah hal yang biasa jika masik terbingkai dalam peraturan yang berlaku dan keputusan wasit. tetapi lain lagi jika terjadi tindakan anarkis yang di mana bisa merugikan kepentingan umum dan fasilitas umum dalam hai ini memeang sangat ironis dan sunguh memalukan.

Yang dimana mereka seharusnya menyadari kedewasaan mereka dan menjadi generasi penrus bangsa ini tetapi di coreng dengan tindakan anarkis dimanakah kedewasaan saat ini?
Monday, April 20, 2009

APA DAN MENGAPA

ORGANISASI : APA DAN MENGAPA

Soetandyo Wignjosoebroto

Manusia adalah makhluk sosial. Upayanya untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi ini – dengan jalan memperoleh nutrisi, proteksi dan bereproduksi – hanya dapat dilakukan, sesuai dengan kodratnya, dengan cara hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan seperti ini, manusia, sebagaimana makhluk sosial lainnya, tak hanya harus hidup secara berkelompok melainkan juga harus menyelenggarakan pembagian kerja, menemukan pola kerjasama (sekalipun acap juga melalui kompetisi dan/atau konflik untuk menemukan keseimbangan-keseimbangan fungsional yang baru), dan tentu saja juga untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Dengan perkataan lain, demi kelestarian eksistensinya, manusia harus mengembangkan suatu struktur organisasi yang fungsional sepanjang sejarah kehidupannyaKecuali tersimak sebagai makhluk sosial, manusia adalah juga hadir di bumi ini sebagai makhluk budaya. Artinya, dalam kehidupan ini, kelestarian eksistensi manusia tak lagi utamanya mengandalkan diri pada naluri-naluri kodrati melainkan pada pengalaman yang diingat dan dicatat dari generasi ke generasi. Berbeda dengan segala sesuatu yang kodrati, budaya, sebagai produk cipta karya manusia, adalah suatu realitas faktual yang lebih gampang terubah dan berubah dalam suatu rentang waktu. Itulah penjelasannya mengapa – sekalipun masuk ke dalam bilangan spesi yang sama, dengan bakat kodrati yang sama – manusia mengembangkan organisasi kehidupan yang menampakkan keragaman yang amat nyata, baik apabila ditilik dari tempat ke tempat maupun apabila disimak dari waktu ke waktu.Keragaman dalam bentuk organisasi kehidupan manusia terwujud sebagai hasil kerja rasionalitas manusia tatkala harus merespons situasi yang menjadi bagian dari lingkungan kehidupannya, baik lingkungan yang alami/natural maupun yang sudah terubah menjadi yang tak lagi (sepenuhnya) alami/kultural. Kian positif hasil respons itu, yang di dalam teori disebut “menghasilkan adaptasi yang fungsional”, akan kian teguh eksistensi suatu organisasi kehidupan sepanjang sejarahnya. Inilah dalil yang berasal dari kajian Charles Darwin yang berbunyithe survival of the fittest”. Penjelasan teoretik ini mengedepankan peran rasionalitas manusia dan kemampuannya untuk membuat pilihan dalam menata tata organisasi kehidupannya, dengan tujuan yang satu: ialah survival.Rasionalitas manusia dengan segala produk kolektifnya -- yang dalam wacana teoretik diistilahi 'preskripsi-preskripsi teknologik' – itulah yang di satu pihak mengubah lingkungan secara dinamik, namun yang di lain pihak juga meningkatkan daya adaptif manusia sekolektiva untuk secara terorganisasi bertahan di tengah lingkungan itu. Perubahan kehidupan manusia dari yang agraris dengan segala tatanannya yang serba askriptif ke yang industrial dengan segala tatanannya yang serba kontraktual adalah contohnya yang nyata. Menjelang datangnya millenium ketiga Masehi, perubahan seperti itu seperti kian bersicepat-cepat saja, dari yang lokal ke yang nasional dan bahkan bersiterus ke yang global, dengan format dan skalanya yang seolah kian tak terhingga. Struktur kehidupan telah kian kompleks, dan oleh karena itu juga kian menuntut pendayagunaan akal dan nalar secara optimal guna mengelola komponen-komponen yang yang ditemukan dalam kompleksitas yang nyatanya telah kian terdeferensiasi itu, untuk diintegrasikan ke dalam satuan struktur yang fungsional dan tetap terkontrol.Dari sinilah bermulanya awal solusi untuk mengelola kehidupan yang kian berformat dan berskala besar dengan ditemukan dan dikembangkannya teori-teori yang relevan dengan persoalan pengelolaan big organizations, yang sepanjang abad 20 lebih dikenal dengan penamaan teori-teori birokrasi. Akan tetapi, dari sinilah pula munculnya permasalahan baru yang berkenaan dengan status manusia dalam statusnya sebagai individu. Dengan hadirnya the big organizations yang terancang amat rasional, individu-individu telah tereduksi menjadi pelakon-pelakon yang boleh dibilang sepenuhnya dikuasai oleh the big bos. Dalam kenyatan seperti itu, individu-individu juga akan kehilangan kepribadian mereka sebagai aktor-aktor yang imajinatif dan kreatif. Maka, tuntutan baru, untuk menemukan keseimbangan baru, segera saja diteriakkan mengiringi peralihan millenum. Teori-teori berparadigma baru – dengan berbagai sebutan, dari yang pasca- strukturalisme dan pasca-modernisme sampaipun ke yang interaksionisme dan simbolisme – mulai meramaikan wacana sepanjang tiga dasawarsa teakhir ini.Adakah kita yang hadir di ruangan ini pada hari ini hanya hendak menyimak segala wacana itu sebagai penonton saja, ataukah juga hendak mencoba memberanikan diri ikut terjun ke alam kancah untuk ikut berwacana? ooooo

Sunday, April 19, 2009

Mother kartini

at this time still do feel the presence of Mother kartini
"Habis Gelap Terbitlah Terang"
a sincere desire of the Kartini
want a degree of equality with the adam
increase the degree of womanhood ....
Now has a modern kartini appear in front of the
Living in the light of stars in the tub at night
But all is light in darkness ...
Many kartini - kartini
Always in lecehkan, persecuted, now lives in
Do not this sad ...
Why must feel the dark
At the time the light ray has kartini - now kartini
"Light and bright is because the light has been published"
Wednesday, April 15, 2009

Windows 7 RC present at the May 2009?

Windows 7 RC present at the May 2009?

Company in the world will bring Microsoft Release Candidate of Windows 7 will be present in the estimate in May 2009. web page on the TechNet Evaluation Center to provide information, "windows-7 Release Candidate published: may 2009" will be available for download. Microsoft does not provide detailed information on the label windows pe 7 RC. Same as in the windows 7 Beta Build 7000, Microsoft plans to make the RC build of Windows 7 in the trials can be free. Microsoft also will not limit the product key for windows 7 RC, in this case anyone can use and activate windows 7 RC freely. Users who try to test windows 7 RC, will be able to use this operating system until the year 2010. on the TechNet site, Microsoft describes a more detailed instructions instalansi windows 7 RC. Windows 7 Release Candidate one is only available in two versions, namely the version of 32-bit and 64-bit, and is only available for some languages, english, german, japanese, french, spanish and if you want to try the windows please be patient until this month May.
Monday, April 13, 2009

Pelangaran Pemilu 2009

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan sebanyak 963 kasus pelanggaran Pemilu. Terdiri dari pelanggaran administrasi (619 kasus), tindak pidana pemilu (138 kasus), dan lain-lain (206 kasus). Pelanggaran administrasi terbanyak mengenai surat suara tertukar antara daerah pemilih (238 kasus) dan logistik pemilu tidak cukup (183). Sedangkan pelanggaran pidana money politics (33 kasus), sengaja mengaku diri sebagai orang lain (18 kasus), dan intimidasi kepada pemilih (17 kasus). Untuk pelanggaran lain-lain yakni terdaftar di DPS namun tidak di DPT tercatat sebanyak 196 kasus. Dari keseluruhan pelanggaran administrasi itu, sebanyak 259 kasus telah ditindaklanjuti ke KPU. Sementara 40 pelanggaran pidana telah diteruskan kepada pihak yang berwenang.

sumber:detik


Wiranto-Prabowo Curigai Ada Kecurangan Pemilu

Ketua Umum Partai Hanura Wiranto dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto mencurigai ada sesuatu di balik kekisruhan daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu kali ini.

Keduanya pun sepakat untuk merealisasikan Forum Lintas Partai yang terdiri dari 23 partai politik untuk melakukan investigasi dan mengumpulkan bukti-bukti terkait dugaan kecurangan tersebut.

"Penyikapan terhadap pelaksanaan pemilu, sikap kita (kami) sama, ada yang tidak beres dalam pelaksanaan pemilu. Banyak aduan mengenai kerancuan DPT, terjadi kerancuan dalam penyelenggaraan pemilu di seluruh daerah. Boleh jadi, ada sesuatu yang terjadi di belakang itu," ujar Wiranto seusai melakukan pertemuan tertutup bersama Prabowo, di Kantor DPP Hanura, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (13/4).

Ditegaskan Wiranto, sekretariat bersama Forum Lintas Partai juga dilengkapi dengan lembaga hukum. Jika memang ditemukan bukti kecurangan, pihaknya tidak akan ragu untuk membawanya ke ranah hukum. "Kami tidak akan membiarkan demokrasi dicederai dengan tindakan-tindakan yang terjadi selama pemilu berlangsung," kata dia.

Prabowo menambahkan, banyaknya warga yang mengeluh kehilangan hak politik merupakan sebuah praktik yang mencederai kaidah demokrasi. Persoalan DPT, menurutnya, harus dibereskan sebelum memasuki gelanggang pertarungan berikutnya, pemilihan presiden. "Kalau tidak, percuma. Pilpres bisa dijadikan sandiwara saja," ujarnya.

Atas persoalan DPT ini, menurutnya, merupakan tanggung jawab pemerintah.

KOMPAS.com

Sunday, April 12, 2009

Indonesia and the promise Caleg

On 09 april 2009 the Indonesian nation is in Indonesia and abroad has made legislative elections with the KPU task has been completed with a hope that the election was not conducted in this country put up a flag half-mast, and for the caleg do not promise sesumbar merely implemented promises you the highest power because the people (democracy: from people by the people for the people) is a mandate and the promise of debt and you (the caleg) get a seat in the House of Representatives because people then that's all for caleg let's work together to build this nation out of the range of existing kerisis because only share work with this people can exit kerisis that, in addition to the no party or individual interests and bag your own. People of Indonesia can no longer in bodohi give-and in the appointment, the Indonesian people need is a reality and not merely the promise of Indonesian life, my life of the nation

Hasil Sementara Pemilu 2009

Sumber: KPU
Senin, 13/04/2009 05:57 WIB
by: detik.com

No Partai Politik Jumlah Suara Persentase
1 Demokrat (31) 774.336 20,23%
2 Golkar (23) 551.937 14,42%
3 PDIP (28) 549.082 14,35%
4 PKS (8) 323.556 8,45%
5 PAN (9) 247.327 6,46%
6 PPP (24) 212.948 5,56%
7 PKB (13) 197.959 5,17%
8 Gerindra (5) 170.975 4,47%
9 Hanura (1) 136.007 3,55%
10 PBB (27) 72.878 1,90%
11 PKPB (2) 60.333 1,58%
12 PKNU (34) 53.263 1,39%
13 PDS (25) 45.632 1,19%
14 PPRN (4) 41.744 1,09%
15 PBR (29) 36.666 0,96%
16 PDP (16) 36.004 0,94%
17 PKPI (7) 35.926 0,94%
18 PPPI (3) 26.352 0,69%
19 Barnas (6) 25.913 0,68%
20 PDK (20) 23.828 0,62%
21 PPD (12) 23.247 0,61%
22 RepublikaN (21) 18.280 0,48%
23 PNBK (26) 16.478 0,43%
24 PMB (18) 16.211 0,42%
25 PIS (33) 13.312 0,35%
26 Patriot (30) 13.258 0,35%
27 Kedaulatan (11) 12.989 0,34%
28 PPI (14) 12.403 0,32%
29 PPIB (10) 10.915 0,29%
30 Pelopor (22) 10.911 0,29%
31 PKDI (32) 10.746 0,28%
32 PNI M (15) 9.750 0,25%
33 Pakar Pangan (17) 8.714 0,23%
34 Partai Buruh (44) 8.015 0,21%
35 PPDI (19) 5.870 0,15%
36 PSI (43) 5.072 0,13%
37 PPNUI (42) 4.440 0,12%
38 Merdeka (41) 4.340 0,11%
39 PAAS (35) 0 0,00%
40 PDA (36) 0 0,00%
41 Partai SIRA (37) 0 0,00%
42 PRA (38) 0 0,00%
43 Partai Aceh (39) 0 0,00%
44 PBA (40) 0 0,00%

Jumlah 3.827.617 100%
Monday, April 6, 2009

November 1998

Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.

Garis waktu

  • Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
  • Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
  • Esok harinya Jumat tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja[1].

Deskripsi

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.

Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.

Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil

Tragedi Semanggi II

Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.

Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.

Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Daerah lain

Selain di Jakarta, pada aksi penolakan UU PKB ini korban juga berjatuhan di Lampung dan Palembang. Pada Tragedi Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa Universitas Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton. Di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas karena tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.

Film dokumenter

  • Student Movement in Indonesia, produksi Jakarta Media Syndication, 1999 (Youtube)

Film dokumenter tentang gerakan mahasiswa Indonesia selama tahun 1998. Versi aslinya dengan narasi dan teks berbahasa Inggris. Diputar di bioskop-bioskop di Indonesia dengan judul Tragedi Jakarta 1998.

Film dokumenter berdurasi 28 menit ini bercerita tentang perjuangan orang tua korban Tragedi Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan II (1999) dalam upaya mereka meraih keadilan.

  • Indonesian Student Revolt. Don’t Follow Leaders, produksi Offstream [1], 2001

Film dokumenter tentang perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia dari 1966-1998.

Peringatan

Pada 14 November 2005, para mahasiswa menaburkan bunga di Jl. Sudirman tepat di depan kampus Universitas Atma Jaya untuk memperingati tujuh tahun Tragedi Semanggi I. Sehari sebelumnya, peringatan Tujuh Tahun Tragedi Semanggi I diadakan di Sekretariat Jaringan Solidaritas Keluarga Korban Pelanggaran HAM (JSKK), Jalan Binong 1A, samping kompleks Tugu Proklamasi. Dimulai dengan konferensi pers, diskusi, dan ditutup dengan pemutaran film dokumenter Perjuangan Tanpa Akhir karya AKKRa (Aliansi Korban Kekerasan Negara). [5] [6]

Pengusutan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat serta pertanggungan jawab mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. (Kompas, 16 November 1998).

Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa. Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. (Kompas, 23 November 1998).[7]

Pengadilan HAM ad hoc

Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus. Hasil rapat ulang Bamus kembali menolaknya. Karena itu, hampir pasti usul yang merupakan rekomendasi Komisi III itu tak dibahas lagi.

Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Dalam rapat itu enam dari sepuluh fraksi menolak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang secara konsisten mendukung usul itu dibawa ke paripurna adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi PDS.[8]

Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR, ini menganulir putusan Komisi III-yang menyarankan pimpinan DPR berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc-membuat penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti dan Semanggi semakin tidak jelas.

Pada periode sebelumnya 1999-2005, DPR juga menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat HAM. 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi laporan tersebut:

  • F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi ) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat.
  • Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS [9]
by:om wiki
Sunday, April 5, 2009

The agenda-setting theory is the theory

The agenda-setting theory is the theory that the mass-news media have a large influence on diences by their choice of what stories to consider newsworthy and how much prominence and space to give them. Agenda-setting theory’s central axiom is salience transfer, or the ability of the mass media to transfer importance of items on their mass agendas to the public agendas.
History

Foundation

The media agenda is the set of issues addressed by media sources and the public agenda which are issues the public consider important. Agenda-setting theory was introduced in 1972 by Maxwell McCombs and Donald Shaw in their ground breaking study of the role of the media in 1968 presidential campaign in Chapel Hill, North Carolina. The theory explains the correlation between the rate at which media cover a story and the extent that people think that this story is important. This correlation has been shown to occur repeatedly.

In the dissatisfaction of the magic bullet theory, McCombs and Shaw introduced agenda-setting theory in the Public Opinion Quarterly. The theory was derived from their study that took place in Chapel Hill, NC, where the researchers surveyed 100 undecided voters during the 1968 presidential campaign on what they thought were key issues and measured that against the actual media content. The ranking of issues was almost identical, and the conclusions matched their hypothesis that the mass media positioned the agenda for public opinion by emphasizing specific topics.[4] Subsequent research on agenda-setting theory provided evidence for the cause-and-effect chain of influence being debated by critics in the field.

One particular study made leaps to prove the cause-effect relationship. The study was conducted by Yale researchers, Shanto Iyengar, Mark Peters, and Donald Kinder. The researchers had three groups of subjects fill out questionnaires about their own concerns and then each group watched different evening news programs, each of which emphasized a different issue. After watching the news for four days, the subjects again filled out questionnaires and the issues that they rated as most important matched the issues they viewed on the evening news. The study demonstrated a cause-and-effect relationship between media agenda and public agenda. Since the theory’s conception, more than 350 studies have been performed to test the theory. The theory has evolved beyond the media's influence on the public's perceptions of issue salience to political candidates and corporate reputation.

Functions

The agenda-setting function has multiple components:

* Media agenda are issues discussed in the media, such as newspapers, television, and radio.
* Public agenda are issues discussed and personally relevant to members of the public.
* Policy agenda are issues that policy makers consider important, such as legislators.
* Corporate agenda are issues that big business and corporations consider important, including corporations.

These four agendas are interrelated. The two basic assumptions underlie most research on agenda-setting are that the press and the media do not reflect reality, they filter and shape it, and the media concentration on a few issues and subjects leads the public to perceive those issues as more important than other issues.

Characteristics

Research has focused on characteristics of audience, the issues, and the media that might predict variations in the agenda setting effect.

Research done by Weaver in 1977 suggested that individuals vary on their need for orientation. Need for orientation is a combination of the individual’s interest in the topic and uncertainty about the issue. The higher levels of interest and uncertainty produce higher levels of need for orientation. So the individual would be considerably likely to be influenced by the media stories (psychological aspect of theory).

Research performed by Zucker in 1978 suggested that an issue is obtrusive if most members of the public have had direct contact with it, and less obtrusive if audience members have not had direct experience. This means that agenda setting results should be strongest for unobtrusive issues because audience members must rely on media for information on these topics.

Levels of agenda setting

The first-level agenda setting is most traditionally studied by researchers. In this level the media use objects or issues to influence the public. In this level the media suggest what the public should think about (amount of coverage). In second-level agenda setting, the media focuses on the characteristics of the objects or issues. In this level the media suggest how the people should think about the issue. There are two types of attributes: cognitive (subtantative, or topics) and affective (evaluative, or positive, negative, neutral). Intermedia agenda setting involves salience transfer among the media.Coleman and Banning 2006; Lee 2005; Shoemaker & Reese, 1996

Usage

The theory is used in political advertising, political campaigns and debates, business news and corporate reputation, business influence on federal policy, legal systems, trials, role of groups, audience control, public opinion, and public relations.

Strengths and weaknesses of theory

It has explanatory power because it explains why most people prioritize the same issues as important. It also has predictive power because it predicts that if people are exposed to the same media, they will feel the same issues are important. It can be proven false. If people aren’t exposed to the same media, they won’t feel the same issues are important. Its meta-theoretical assumptions are balanced on the scientific side and it lays groundwork for further research. Furthermore, it has organizing power because it helps organize existing knowledge of media effects.

There are also limitations, such as media users may not be as ideal as the theory assumes. People may not be well-informed, deeply engaged in public affairs, thoughtful and skeptical. Instead, they may pay only casual and intermittent attention to public affairs and remain ignorant of the details. For people who have made up their minds, the effect is weakened. News media cannot create or conceal problems, they may only alter the awareness, priorities and salience people attached to a set of problems. Research has largely been inconclusive in establishing a causal relationship between public salience and media coverage.