Monday, April 20, 2009

APA DAN MENGAPA

ORGANISASI : APA DAN MENGAPA

Soetandyo Wignjosoebroto

Manusia adalah makhluk sosial. Upayanya untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi ini – dengan jalan memperoleh nutrisi, proteksi dan bereproduksi – hanya dapat dilakukan, sesuai dengan kodratnya, dengan cara hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan seperti ini, manusia, sebagaimana makhluk sosial lainnya, tak hanya harus hidup secara berkelompok melainkan juga harus menyelenggarakan pembagian kerja, menemukan pola kerjasama (sekalipun acap juga melalui kompetisi dan/atau konflik untuk menemukan keseimbangan-keseimbangan fungsional yang baru), dan tentu saja juga untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Dengan perkataan lain, demi kelestarian eksistensinya, manusia harus mengembangkan suatu struktur organisasi yang fungsional sepanjang sejarah kehidupannyaKecuali tersimak sebagai makhluk sosial, manusia adalah juga hadir di bumi ini sebagai makhluk budaya. Artinya, dalam kehidupan ini, kelestarian eksistensi manusia tak lagi utamanya mengandalkan diri pada naluri-naluri kodrati melainkan pada pengalaman yang diingat dan dicatat dari generasi ke generasi. Berbeda dengan segala sesuatu yang kodrati, budaya, sebagai produk cipta karya manusia, adalah suatu realitas faktual yang lebih gampang terubah dan berubah dalam suatu rentang waktu. Itulah penjelasannya mengapa – sekalipun masuk ke dalam bilangan spesi yang sama, dengan bakat kodrati yang sama – manusia mengembangkan organisasi kehidupan yang menampakkan keragaman yang amat nyata, baik apabila ditilik dari tempat ke tempat maupun apabila disimak dari waktu ke waktu.Keragaman dalam bentuk organisasi kehidupan manusia terwujud sebagai hasil kerja rasionalitas manusia tatkala harus merespons situasi yang menjadi bagian dari lingkungan kehidupannya, baik lingkungan yang alami/natural maupun yang sudah terubah menjadi yang tak lagi (sepenuhnya) alami/kultural. Kian positif hasil respons itu, yang di dalam teori disebut “menghasilkan adaptasi yang fungsional”, akan kian teguh eksistensi suatu organisasi kehidupan sepanjang sejarahnya. Inilah dalil yang berasal dari kajian Charles Darwin yang berbunyithe survival of the fittest”. Penjelasan teoretik ini mengedepankan peran rasionalitas manusia dan kemampuannya untuk membuat pilihan dalam menata tata organisasi kehidupannya, dengan tujuan yang satu: ialah survival.Rasionalitas manusia dengan segala produk kolektifnya -- yang dalam wacana teoretik diistilahi 'preskripsi-preskripsi teknologik' – itulah yang di satu pihak mengubah lingkungan secara dinamik, namun yang di lain pihak juga meningkatkan daya adaptif manusia sekolektiva untuk secara terorganisasi bertahan di tengah lingkungan itu. Perubahan kehidupan manusia dari yang agraris dengan segala tatanannya yang serba askriptif ke yang industrial dengan segala tatanannya yang serba kontraktual adalah contohnya yang nyata. Menjelang datangnya millenium ketiga Masehi, perubahan seperti itu seperti kian bersicepat-cepat saja, dari yang lokal ke yang nasional dan bahkan bersiterus ke yang global, dengan format dan skalanya yang seolah kian tak terhingga. Struktur kehidupan telah kian kompleks, dan oleh karena itu juga kian menuntut pendayagunaan akal dan nalar secara optimal guna mengelola komponen-komponen yang yang ditemukan dalam kompleksitas yang nyatanya telah kian terdeferensiasi itu, untuk diintegrasikan ke dalam satuan struktur yang fungsional dan tetap terkontrol.Dari sinilah bermulanya awal solusi untuk mengelola kehidupan yang kian berformat dan berskala besar dengan ditemukan dan dikembangkannya teori-teori yang relevan dengan persoalan pengelolaan big organizations, yang sepanjang abad 20 lebih dikenal dengan penamaan teori-teori birokrasi. Akan tetapi, dari sinilah pula munculnya permasalahan baru yang berkenaan dengan status manusia dalam statusnya sebagai individu. Dengan hadirnya the big organizations yang terancang amat rasional, individu-individu telah tereduksi menjadi pelakon-pelakon yang boleh dibilang sepenuhnya dikuasai oleh the big bos. Dalam kenyatan seperti itu, individu-individu juga akan kehilangan kepribadian mereka sebagai aktor-aktor yang imajinatif dan kreatif. Maka, tuntutan baru, untuk menemukan keseimbangan baru, segera saja diteriakkan mengiringi peralihan millenum. Teori-teori berparadigma baru – dengan berbagai sebutan, dari yang pasca- strukturalisme dan pasca-modernisme sampaipun ke yang interaksionisme dan simbolisme – mulai meramaikan wacana sepanjang tiga dasawarsa teakhir ini.Adakah kita yang hadir di ruangan ini pada hari ini hanya hendak menyimak segala wacana itu sebagai penonton saja, ataukah juga hendak mencoba memberanikan diri ikut terjun ke alam kancah untuk ikut berwacana? ooooo

0 comments: