WAJAH BURUK PENDIDIKAN INDONESIA
Bila dilihat dari segi kualitas pendidikan kita, menurut penelitian Human Development Indeks (HDI) tahun 2004, Indonesia berada di urutan ke 111 dari 175 negara. Begitupun menurut majalah Asia Week yang melakukan penelitian terhadap Universitas terbaik di Asia, dalam majalah ini disebutkan bahwa tidak satupun Perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam 20 terbaik. UI berada di peringkat 61 untuk kategori universitas multidisiplin, UGM diperingkat 68, UNDIP diperingkat 77, Unair diperingkat 75, sedangkan ITB diperingkat 21 untuk universitas sains dan teknologi, kalah dibandingkan universitas nasional sains dan teknologi Pakistan. Selain itu dilihat dari kepribadian perilaku pelajar kita, tidak sedikit dari mereka yang tawuran antar sekolah atau antar perguruan tinggi, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, ataupun perilaku mereka yang sudah tergolong dalam tindak kriminal. Seperti geng motor yang kebanyakan anggotanya masih berstatus pelajar.
Beginilah wajah buruk pendidikan kita, setidaknya bila kita cermati terdapat dua faktor yang mempengaruhi gagalnya pendidikan yang berlaku di Indonesia. Pertama, paradigma pendidikan nasional. Kedua, mahalnya biaya pendidikan. Diakui atau tidak sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah sistem pendidikan yang memisahkan peranan agama dari kehidupan. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab ke VI tentang jalur jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus. Adanya pembagian pendidikan umum dan keagamaan yang terdapat pada pasal tersebut memberikan gambaran bahwasanya pendidikan kita memang dikotomi. Pendikotomian pendidikan melalui kelembagaan dapat terlihat dari pendidikan agama terdapat pada madrasah-madrasah, institut agama, dan pesantren. Dan lembaga-lembaga tersebut dikelola oleh Departemen Agama. Sementara pendidikan umum melalui Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Kejuruan, serta Perguruan Tinggi dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan seperti ini tentu saja tidak akan melahirkan peserta didik ayang memiliki kemamapuan menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi sekaligus juga memiliki kepribadian berupa perilaku yang mulia. Padahal tujuan pendidikan nasional sendiri adalah untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Saat ini mungkin tidak sedikit dari output peserta didik kita yang berhasil menguasai sains dan teknologi melalui pendidikan umum, namun tidak sedikit diantara mereka yang kurang memiliki kepribadian yang mulia. Apalagi saat ini ukuran kelulusan peserta didik hanya dinilai dari Ujian Nasional (UN) saja, artinya para peserta didik hanya ditujukan untuk menguasai materi saja tanpa nilai spiritualnya. Disisi lain, mereka yang belajar di pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan secara relatif memiliki kepribadian baik, tapi tidak sedikit diantara mereka yang buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern seperti perdagangan, industri, jasa dan lain-lain diisi oleh orang yang relatif awam terhadap agama.
Permasalahan mengenai biaya pendidikan pun ikut menambah buramnya kualitas pendidikan kita. Di zaman sekarang memang untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas baik harus menelan biaya yang tidak sedikit. Masyarakat yang kurang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah yang kualitas pendidikannya bagus terpaksa hanya mendapatkan di sekolah yang terbatas sarana dan prasarananya. Di daerah-daerah banyak sekolah yang kurang berfungsi dengan baik, diantaranya kerusakan bangunan, sarana terbatas, namun dengan kondisi tersebut mereka tidak putus semangat untuk tetap terus belajar walaupun dengan fasilitas seadanya. Tidak dipungkiri bahwa tiap tahunnya, setiap jenjang pendidikan terus mengalami kenaikan biaya pendidikan, akibatnya banyak diantara mereka yang putus sekolah, atau bahkan tidak sekolah karena terhalang masalah biaya. Bagaimana mungkin tetap mencapai tujuan nasioanal yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa ?! Memperoleh pendidikan pun sulit untuk diperoleh !
Oleh karena itu, perlu adanya penyelesaian problem pendidikan secara mendasar yaitu dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh mulai dari merubah paradigma pendidikan nasional yang memisahkan pendidikan umum dengan pendidikan agama, menjadikan peranan agama sebagai landasan dalam proses pendidikan. Pendidikan agama tidak hanya diberikan satu kali dalam seminggu tapi juga harus dijadikan dasar atau landasan bagi mata pelajaran lainnya, sehingga akan melahirkan peserta didik yang tidak hanya menguasai sains dan teknologi tapi juga memiliki akhlak yang baik. Selain itu juga untuk mengatasi komersialisasi pendidikan diperlukan peranan negara dalam hal ini pemerintah untuk melakukan upaya yang sistematis merubah paradigma pendidikan yang komersial dengan menyediakan sarana dan sarana pendidikan yang memadai, bermutu tinggi, dengan biaya yang dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat tanpa ada perbedaan berdasarkan kualitas pendidikan ditentukan oleh berapa besar biaya pendididkan yang dikeluarkan. Peran serta pemerintah ini sebenarnya sebagai bagian dari pelayanan terhadap masyarakat dalam hal mencapai tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian dari perubahan tersebut akan melahirkan peserta didik yang berkualitas sehingga mampu memegang peranannya sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa pada kemajuan.
MEMBUDAYAKAN BACA KORAN
Tanggal 10 Februari yang lalu Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) mencanangkan gerakan baca koran. Seruan ini tentu memiliki korelasi yang positif dengan dunia pendidikan terutama sekolah. Bagaimana peranan guru dalam mendorong upaya gerakan tersebut di sekolah? sejauh mana pula kebiasaan para guru dalam membaca koran dan kemudian menularkannya kepada anak didik?
Setiap sekolah pasti berlangganan satu atau dua buah koran. Paling tidak koran “Pikiran Rakyat” setiap hari hadir di ruang guru atau perpustakaan sekolah di Jawa Barat. Namun, apakah dengan hadirnya media bacaan tersebut budaya membaca koran kemudian tumbuh subur di sekolah? Belum tentu. Selama pemahaman dan penilaian guru akan kebutuhan untuk membaca koran belum tepat maka budaya membaca tidak akan pernah hadir di sekolah.
Berdasarkan observasi sederhana penulis ternyata mayoritas guru lebih banyak menghabiskan waktunya, di luar jam mengajar, untuk ngobrol dan menggosip dibandingkan menambah wawasan dengan membaca koran. Mereka beranggapan bahwa berita yang disajikan koran tidak ada bedanya dengan berita yang disiarkan media televisi. Seringkali berita dari televisi lebih cepat dibandingkan koran. Tidak aneh bila kemudian di sekolah koran jarang disentuh, tergeletak begitu saja di atas meja di antara tumpukan buku.
Bahan ajar
Sejatinya koran bukan sekedar media pemberitaan. Di dalamnya juga terdapat berbagai rubrik yang berkaitan dengan dunia pendidikan yang bisa dijadikan sebagai bahan ajar tambahan selain buku daras dan buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Bukan hanya mata pelajaran bahasa Indonesia, koran pun bisa menjadi bahan ajar semua mata pelajaran.
Koran bisa dijadikan sebagai bahan penjelasan, keterangan tambahan maupun contoh materi pelajaran. Selain tentang ilmu-ilmu sosial koran memberikan wawasan tentang ilmu-ilmu alam. Contohnya “Pikiran Rakyat” memiliki rubrik “Cakrawala” yang membahas perkembangan sains. Bila guru membiasakan diri membaca koran wawasan mereka akan bertambah, bahan ajar pun semakin melimpah serta semakin mudah untuk disampaikan kepada siswanya di sekolah.
Menyebarkan budaya membaca
Tatkala harga buku saat ini semakin mahal, koran menjadi media bacaan alternatif yang murah meriah. Guru bisa menyebarkan budaya membaca kepada siswa dengan pemberian tugas untuk mengkliping koran tentang tema tertentu sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Dengan begitu siswa terbiasa dengan koran yang selanjutnya mereka menjadi antusias untuk terus membaca.
Namun tentu saja sekolah perlu menyediakan koran yang jumlahnya sesuai dengan rasio guru dan siswa. Tentu tidak sepadan satu koran dibaca oleh 500 orang di satu sekolah. Paling tidak setiap sekolah memiliki langganan beberapa koran nasional dan koran daerah. Dengan ketersediaan yang relatif banyak maka tidak ada alasan bagi guru dan siswa untuk tidak bisa membaca koran karena harus berebutan.
Bagi sekolah yang sudah tersambung dengan internet, budaya membaca koran bisa semakin ditingkatkan. Saat ini beberapa koran daerah maupun nasional telah menyediakan edisi online di samping edisi cetak. Misalnya “Pikiran rakyat” memiliki edisi online dengan alamat http://www.pikiran-rakyat.com. Melalui internet, guru dan siswa bisa mengakses seluruh berita dan tulisan yang disajikan termasuk koran yang berasal dari daerah lain atau juga dari luar negeri.
Terakhir, yang paling penting dalam rangka mendorong budaya membaca koran adalah budaya menulis. Kemampuan menulis di koran tidak akan muncul tanpa diawali budaya membaca. “PR” termasuk pelopor dalam mendorong budaya ini. Lihat saja kolom “Forum Guru” yang disediakan khusus untuk tulisan para guru. Siswa SMP/SMU rubrik “belia” disediakan untuk menampung tulisan dan kreativitas mereka. Tak ketinggalan anak TK/SD memiliki “Pe Er Kecil”. Semakin sering guru dan siswa menulis di koran, maka budaya membaca koran pun akan semakin meningkat, paling tidak ingin mengetahui apakah tulisannya dimuat atau tidak.
Gerakan baca koran ini perlu terus digalakkan dengan upaya bahu membahu berbagai kalangan termasuk para guru yang bergerak di dunia pendidikan.
Mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak
Mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak. Demikian pula dengan mendapat pendidik sesuai dengan keinginan anak. Sayang, hal ini tidak dipahami oleh hampir semua orang tua di muka bumi ini. Mereka hampir selalu berpendirian bahwa mendapat pendidikan atau bersekolah adalah kewajiban anak, bukan lagi hak. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak ditemui anak-anak yang menolak bersekolah karena berbagai alasan. Saking enggannya mereka bersekolah namun didorong oleh orang tua untuk terus bersekolah, sebagian dari mereka mengalami stres berkepanjangan atau bahkan memilih mengakhiri hidup.
Berlatar belakang itulah lalu muncul home schooling atau sekolah rumah, sebagai perwujudan hak anak untuk mendapat pendidikan sesuai dengan apa yang mereka inginkan atau butuhkan. Home schooling dapat dilakukan oleh siapa pun, di mana pun (kecuali di sekolah, tentunya), dan dengan cara apa pun, sehingga lebih fleksibel serta sesuai dengan kebutuhan dan pola anak. Misalnya, dengan mengajak anak berbelanja. Di sini, secara tidak langsung anak belajar tentang matematika, sosialisasi, perencanaan, dan sebagainya. Metode pengajaran home schooling semacam ini disebut metode Kak Seto.
"Home schooling memiliki spektrum yang sangat luas. Home schooling juga dapat dikatakan sebagai pemindahan tempat belajar, dengan materi pelajaran yang sama dengan yang diajarkan di sekolah, tetapi diajarkan di rumah dalam bentuk memanggil guru les atau mengaitkannya dengan kegiatan sehari-hari, sehingga lebih merdeka, tidak terkungkung oleh kurikulum yang ketat, kaku, dan menekankan prestasi akademik semata," kata Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto, Ketua Umum Asah Pena Indonesia, sebuah Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif yang berkantor di Cireunde, Ciputat, Jakarta Selatan.
Home schooling sebagai cara belajar alternatif, biasanya dilakukan oleh orang tua anak-anak tersebut. Tapi, ketika anak-anak ini membutuhkan tambahan ilmu pengetahuan yang kebetulan tidak begitu dipahami oleh orang tua mereka, guru yang memang berkompeten dalam ilmu pengetahuan tersebut dapat dipanggil. Saat sang guru membagikan ilmunya, orang tua anak-anak tersebut harus turut serta dalam proses belajar mengajar, sehingga ketika pelajaran berakhir dapat saling mendiskusikan pelajaran yang baru saja diikuti atau semacam evaluasi. Namun, sekali lagi ditekankan bahwa metode pengajarannya tidak seperti les, kursus, atau sekolah melainkan dilakukan di teras atau halaman seperti layaknya bermain dan dengan menggunakan segala hal yang dapat ditemui di sekeliling area tersebut.
Kurikulum yang digunakan tetap mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Selain itu, sama halnya dengan pendidikan formal, pada usia tertentu di mana anak-anak home schooling ini seharusnya lulus dari sekolah formal, mereka akan Home Schoolingdiikutkan Paket A (pendidikan kesetaraan) untuk SD, Paket B untuk SMP, dan Paket C untuk SMA guna mendapatkan ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Sekadar informasi, adakalanya home schooling diajarkan begitu saja, tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan ijazah. "Nantinya, akan ada kesetaraan khusus untuk home schooling. Dengan demikian, home schooling sudah didukung oleh pemerintah dan masuk dalam undang-undang," jelas Deviana, Koordinator Asah Pena Indonesia. Ketika di tengah jalan anak-anak home schooling ingin kembali atau melanjutkan ke sekolah formal, mereka dapat kembali atau melanjutkan begitu saja. Demikan pula kala mereka masuk ke dunia kerja. "Ijazah mereka berlaku kok," lanjutnya.
Home schooling terbagi menjadi tiga kategori yaitu tunggal, majemuk, dan komunitas. Dalam home schooling tunggal, anak-anak diajar oleh orang tua mereka sendiri. Sedangkan home schooling majemuk dilakukan oleh beberapa orang tua yang memiliki visi dan misi yang sama, yang secara bersama-sama atau bergiliran mengajar beberapa anak sekaligus, baik anak-anaknya sendiri maupun anak-anak dari keluarga lain. "Zaman dulu, hal ini tampak dari belajar mengaji di surau, belajar beladiri atau menari di padepokan,dan sebagainya," ujarnya.
Home schooling komunitas merupakan gabungan antara berbagai home schooling di bawah satu payung yang mewadahi metode Kak Seto. "Home schooling yang dinamai Komunitas Kak Seto ini, bertujuan mempermudah orang tua yang tidak paham tentang seluk beluk home schooling dan membantu mendaftarkannya ke Depdiknas," katanya.
Bagi orang tua yang ingin mengikutkan anak-anak mereka dalam Komunitas Kak Seto (beroperasi 23 Januari, red.) dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp1.500.000,- dan uang SPP sebesar Rp350 ribu (SD) dan Rp450 ribu (SMP dan SMA). "Kami menyediakan materi dan modul. Selain itu, dua kali seminggu dilakukan pertemuan agar anak-anak itu tidak merasa sendiri. Orang tua ‘murid’ juga diikutkan dalam proses belajar mengajar dan tidak lagi direpotkan dengan mendaftarkan anak-anak mereka untuk mengikuti Paket A, B, atau C. Sebab, semuanya sudah diurus oleh Komunitas Kak Seto," imbuhnya.
Di sisi lain, Asah Pena Indonesia bertugas sebagai kelompok pendukung dan pengembangan orang tua, mengingat praktik home schooling ini justru terhambat oleh motivasi orang tua yang sering turun naik. "Dampaknya terhadap anak-anak justru tidak perlu ditakutkan. Karena, mereka malah tumbuh sebagai pribadi yang tidak lagi memandang kelas sosial, memiliki rasa empati yang lebih kuat, tidak lagi merasa tertekan dengan dominasi teman-teman mereka, lebih mandiri, lebih cepat menangkap suatu permasalahan, dan sebagainya. Apalagi, hubungan dengan teman-teman mereka yang bersekolah formal tetap terus terjalin," ucapnya. Home schooling memang mempunyai spektrum yang sangat luas, yang bisa pula diartikan sebagai upaya untuk mengatasi mahalnya biaya pendidikan, sekaligus peluang bisnis baru dalam dunia pendidikan, bukan begitu?