Sunday, February 1, 2009

Mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak

Mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak. Demikian pula dengan mendapat pendidik sesuai dengan keinginan anak. Sayang, hal ini tidak dipahami oleh hampir semua orang tua di muka bumi ini. Mereka hampir selalu berpendirian bahwa mendapat pendidikan atau bersekolah adalah kewajiban anak, bukan lagi hak. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak ditemui anak-anak yang menolak bersekolah karena berbagai alasan. Saking enggannya mereka bersekolah namun didorong oleh orang tua untuk terus bersekolah, sebagian dari mereka mengalami stres berkepanjangan atau bahkan memilih mengakhiri hidup.

Berlatar belakang itulah lalu muncul home schooling atau sekolah rumah, sebagai perwujudan hak anak untuk mendapat pendidikan sesuai dengan apa yang mereka inginkan atau butuhkan. Home schooling dapat dilakukan oleh siapa pun, di mana pun (kecuali di sekolah, tentunya), dan dengan cara apa pun, sehingga lebih fleksibel serta sesuai dengan kebutuhan dan pola anak. Misalnya, dengan mengajak anak berbelanja. Di sini, secara tidak langsung anak belajar tentang matematika, sosialisasi, perencanaan, dan sebagainya. Metode pengajaran home schooling semacam ini disebut metode Kak Seto.

"Home schooling memiliki spektrum yang sangat luas. Home schooling juga dapat dikatakan sebagai pemindahan tempat belajar, dengan materi pelajaran yang sama dengan yang diajarkan di sekolah, tetapi diajarkan di rumah dalam bentuk memanggil guru les atau mengaitkannya dengan kegiatan sehari-hari, sehingga lebih merdeka, tidak terkungkung oleh kurikulum yang ketat, kaku, dan menekankan prestasi akademik semata," kata Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto, Ketua Umum Asah Pena Indonesia, sebuah Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif yang berkantor di Cireunde, Ciputat, Jakarta Selatan.

Home schooling sebagai cara belajar alternatif, biasanya dilakukan oleh orang tua anak-anak tersebut. Tapi, ketika anak-anak ini membutuhkan tambahan ilmu pengetahuan yang kebetulan tidak begitu dipahami oleh orang tua mereka, guru yang memang berkompeten dalam ilmu pengetahuan tersebut dapat dipanggil. Saat sang guru membagikan ilmunya, orang tua anak-anak tersebut harus turut serta dalam proses belajar mengajar, sehingga ketika pelajaran berakhir dapat saling mendiskusikan pelajaran yang baru saja diikuti atau semacam evaluasi. Namun, sekali lagi ditekankan bahwa metode pengajarannya tidak seperti les, kursus, atau sekolah melainkan dilakukan di teras atau halaman seperti layaknya bermain dan dengan menggunakan segala hal yang dapat ditemui di sekeliling area tersebut.

Kurikulum yang digunakan tetap mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Selain itu, sama halnya dengan pendidikan formal, pada usia tertentu di mana anak-anak home schooling ini seharusnya lulus dari sekolah formal, mereka akan Home Schoolingdiikutkan Paket A (pendidikan kesetaraan) untuk SD, Paket B untuk SMP, dan Paket C untuk SMA guna mendapatkan ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Sekadar informasi, adakalanya home schooling diajarkan begitu saja, tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan ijazah. "Nantinya, akan ada kesetaraan khusus untuk home schooling. Dengan demikian, home schooling sudah didukung oleh pemerintah dan masuk dalam undang-undang," jelas Deviana, Koordinator Asah Pena Indonesia. Ketika di tengah jalan anak-anak home schooling ingin kembali atau melanjutkan ke sekolah formal, mereka dapat kembali atau melanjutkan begitu saja. Demikan pula kala mereka masuk ke dunia kerja. "Ijazah mereka berlaku kok," lanjutnya.

Home schooling terbagi menjadi tiga kategori yaitu tunggal, majemuk, dan komunitas. Dalam home schooling tunggal, anak-anak diajar oleh orang tua mereka sendiri. Sedangkan home schooling majemuk dilakukan oleh beberapa orang tua yang memiliki visi dan misi yang sama, yang secara bersama-sama atau bergiliran mengajar beberapa anak sekaligus, baik anak-anaknya sendiri maupun anak-anak dari keluarga lain. "Zaman dulu, hal ini tampak dari belajar mengaji di surau, belajar beladiri atau menari di padepokan,dan sebagainya," ujarnya.

Home schooling komunitas merupakan gabungan antara berbagai home schooling di bawah satu payung yang mewadahi metode Kak Seto. "Home schooling yang dinamai Komunitas Kak Seto ini, bertujuan mempermudah orang tua yang tidak paham tentang seluk beluk home schooling dan membantu mendaftarkannya ke Depdiknas," katanya.

Bagi orang tua yang ingin mengikutkan anak-anak mereka dalam Komunitas Kak Seto (beroperasi 23 Januari, red.) dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp1.500.000,- dan uang SPP sebesar Rp350 ribu (SD) dan Rp450 ribu (SMP dan SMA). "Kami menyediakan materi dan modul. Selain itu, dua kali seminggu dilakukan pertemuan agar anak-anak itu tidak merasa sendiri. Orang tua ‘murid’ juga diikutkan dalam proses belajar mengajar dan tidak lagi direpotkan dengan mendaftarkan anak-anak mereka untuk mengikuti Paket A, B, atau C. Sebab, semuanya sudah diurus oleh Komunitas Kak Seto," imbuhnya.

Di sisi lain, Asah Pena Indonesia bertugas sebagai kelompok pendukung dan pengembangan orang tua, mengingat praktik home schooling ini justru terhambat oleh motivasi orang tua yang sering turun naik. "Dampaknya terhadap anak-anak justru tidak perlu ditakutkan. Karena, mereka malah tumbuh sebagai pribadi yang tidak lagi memandang kelas sosial, memiliki rasa empati yang lebih kuat, tidak lagi merasa tertekan dengan dominasi teman-teman mereka, lebih mandiri, lebih cepat menangkap suatu permasalahan, dan sebagainya. Apalagi, hubungan dengan teman-teman mereka yang bersekolah formal tetap terus terjalin," ucapnya. Home schooling memang mempunyai spektrum yang sangat luas, yang bisa pula diartikan sebagai upaya untuk mengatasi mahalnya biaya pendidikan, sekaligus peluang bisnis baru dalam dunia pendidikan, bukan begitu?

0 comments:

Blog Archive

Blog Archive

About Me