Monday, February 9, 2009
UU BHP Perlu Diperbaiki
Menggugat Beban Pajak bagi BHP
Oleh Wibisono Hardjopranoto *
UU BHP disahkan DPR pada 17 Desember 2008. Reaksi masyarakat muncul intensif dan beragam. Reaksi yang sangat menonjol datang dari kalangan perguruan tinggi (mahasiswa, dosen, rektor), partai politik, dan LSM.
Dalam berbagai kesempatan juga ditanggapi serius oleh Mendiknas maupun Dirjen Dikti. Suara FRI (Forum Rektor Indonesia) muncul dalam ''Diskusi UU BHP, Implikasinya bagi Penyelenggaraan di Daerah'' yang diadakan Lembaga Ombudsman Swasta Daerah Istimewa Jogjakarta, Selasa (30/12). Juga, tulisan Prof Djoko Santosa, rektor ITB dan mantan ketua FRI 2007.
Dalam diskusi di Jogja, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof Edy Suandi Hamid menyatakan bahwa UU BHP harus diterapkan bertahap. ''Tidak bisa sekaligus semua lembaga pendidikan disamaratakan.''
Salah satu hal yang bias adalah pendanaan. BHP di perguruan tinggi swasta (PTS) dan sekolah swasta tidak diakomodasi karena dalam UU hanya disebutkan ''dibantu'' pemerintah. Sementara untuk BHP negeri, sudah tersurat tegas mengenai batas minimal dukungan dana pemerintah.
Terkait dengan akuntabilitas keuangan, keharusan laporan keuangan sekolah dasar dan menengah (SD/SMP) diaudit akuntan publik atau tim audit, jelas butuh dana besar, sehingga sulit dilaksanakan.
Tidak bisa disangkal, sebagian besar rumusan dalam UU BHP menetapkan substansi-substansi berupa langkah maju dalam menata kehidupan dan perkembangan pendidikan formal di Indonesia. Selain sebagian besar langkah maju yang telah dirumuskan dalam UU BHP tersebut, masih perlu diketengahkan beberapa catatan tentang ketidaksempurnaan UU BHP tersebut.
Konsekuensi Prinsip Nirlaba
UU BHP tidak (belum) konsekuen dengan prinsip nirlaba. BHP dinyatakan sebagai badan hukum nirlaba. Tapi, konsekuensi dalam hal perlakuan pajaknya tidak mengalami perubahan dari kondisi sebelum UU BHP.
Misalnya, pasal 38 ayat (3) menyatakan, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) paling lambat dalam 4 (empat) tahun.
Selanjutnya, pasal 38 ayat (4) menyatakan, apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan.
Pasal 37 ayat (6) menyatakan, kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran; (b) pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi; (c) peningkatan pelayanan pendidikan; dan (d) penggunaan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Saya terkejut membaca berita salah satu koran Jakarta, Sabtu 17 Januari 2009, bertajuk Lembaga Pendidikan Akan Dikenai Pajak. Judulnya seram dan mengejutkan. Tapi, setelah saya pelajari, ternyata isi berita tidak berfokus ke soal perpajakan. Hanya dijelaskan bahwa soal pajak belum dicek ke Dirjen Pajak dan katanya ''akan ada keringanan pajak untuk penyelenggara pendidikan''.
Pasal 38 ayat (4) yang terkait dengan ayat (3) bertentangan dengan prinsip nirlaba karena kewajiban untuk mengalokasikan sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih masih diberi peluang boleh dilanggar setelah batas waktu empat tahun dilampaui dengan ketentuan harus menjadi objek pajak.
Seharusnya, opsi untuk tidak mengalokasikan sesuai ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) tidak perlu ada. Jika seluruh BHP (badan hukum pendidikan) merupakan badan hukum nirlaba, seharusnya ia dibebaskan dari beban pajak yang harus ditanggung.
Dalam hal ini, harus dilarang untuk membagikan sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersihnya kepada pendirinya. Jika prinsip tersebut dilanggar, BHP harus dikenai pajak sejak tahun diperolehnya sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih, bukan setelah empat tahun tidak dialokasikan untuk kepentingan BHP.
Ketentuan tersebut tidak memberi insentif bagi BHP membentuk endowment fund, padahal sangat dibutuhkan BHP dalam rangka menangkal dan berjaga-jaga terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan pada masa mendatang.
Di sisi lain, pasal 40 ayat (1) menyatakan, sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan berdasar prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Bagaimana bisa sustain, jika akumulasi pendapatannya dikenai pajak?
Secara mendasar, UU BHP menetapkan BHP merupakan badan hukum nirlaba yang konsekuesinya harus lugas. Seluruh pertambahan kekayaannya tidak pada tempatnya dinyatakan sebagai objek pajak.
Jadi, tidak pada tempatnya kegiatan yang membantu meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan formal dikenai pajak, seharusnya justru mendapatkan alokasi pengeluaran APBN di mata anggaran pendidikan.
Badan hukum yang melakukan pembagian ''dividen'' merupakan badan hukum yang berorientasi mencari laba dan dengan demikian pertambahan kekayaannya harus menjadi objek pajak saat diperolehnya. Tidak usah menunggu jangka empat tahun. Pasal 45 ayat (3) belum secara konsekuen memberikan perlakuan pajak yang lugas bagi BHP.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Terkait dengan kritik pertama tersebut, dengan sikap ''abu-abu'' terkait perpajakan itu, perlu diajukan pertanyaan yang sangat mendasar: ''Apakah BHP masih dikenai (tetap membayar) pajak bumi dan bangunan (PBB)?''
Dalam kenyataannya, perlakuan PBB terhadap kekayaan berupa tanah dan bangunan yang dimiliki perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) bersifat kontras (diskriminatif). PTN tidak membayar PPB karena tanahnya berstatus tanah negara, sedangkan PTS yang harus membeli sendiri tanah yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas pendidikan harus membayar PBB.
Walaupun tarifnya hanya dikenai 50 persen dari tarif normal, realita tersebut timpang. Bagi PTS, beban PBB itu semakin tahun semakin berat akibat kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Secara tidak langsung, PBB tersebut menjadi beban orang tua mahasiswa dan menghambat pertumbuhan keuangan BHP.
Di luar pajak-pajak yang posisi BHP sebagai wajib pungut seperti PPh 21 dan PPh 23. Bukan hanya PBB, tapi juga masih perlu dipertanyakan bagaimana perlakuan pajak terhadap lainnya yang dalam kenyataan sekarang menjadi beban BHP, seperti PPn jasa pembangunan, pajak iklan, dan pajak-pajak lokal yang lain.
Bagaimanapun, pembebanan pajak terhadap lembaga pendidikan sangat layak dipertanyakan.
*. Wibisono Hardjopranoto, guru besar keuangan, rektor Universitas Surabaya
Oleh Wibisono Hardjopranoto *
UU BHP disahkan DPR pada 17 Desember 2008. Reaksi masyarakat muncul intensif dan beragam. Reaksi yang sangat menonjol datang dari kalangan perguruan tinggi (mahasiswa, dosen, rektor), partai politik, dan LSM.
Dalam berbagai kesempatan juga ditanggapi serius oleh Mendiknas maupun Dirjen Dikti. Suara FRI (Forum Rektor Indonesia) muncul dalam ''Diskusi UU BHP, Implikasinya bagi Penyelenggaraan di Daerah'' yang diadakan Lembaga Ombudsman Swasta Daerah Istimewa Jogjakarta, Selasa (30/12). Juga, tulisan Prof Djoko Santosa, rektor ITB dan mantan ketua FRI 2007.
Dalam diskusi di Jogja, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof Edy Suandi Hamid menyatakan bahwa UU BHP harus diterapkan bertahap. ''Tidak bisa sekaligus semua lembaga pendidikan disamaratakan.''
Salah satu hal yang bias adalah pendanaan. BHP di perguruan tinggi swasta (PTS) dan sekolah swasta tidak diakomodasi karena dalam UU hanya disebutkan ''dibantu'' pemerintah. Sementara untuk BHP negeri, sudah tersurat tegas mengenai batas minimal dukungan dana pemerintah.
Terkait dengan akuntabilitas keuangan, keharusan laporan keuangan sekolah dasar dan menengah (SD/SMP) diaudit akuntan publik atau tim audit, jelas butuh dana besar, sehingga sulit dilaksanakan.
Tidak bisa disangkal, sebagian besar rumusan dalam UU BHP menetapkan substansi-substansi berupa langkah maju dalam menata kehidupan dan perkembangan pendidikan formal di Indonesia. Selain sebagian besar langkah maju yang telah dirumuskan dalam UU BHP tersebut, masih perlu diketengahkan beberapa catatan tentang ketidaksempurnaan UU BHP tersebut.
Konsekuensi Prinsip Nirlaba
UU BHP tidak (belum) konsekuen dengan prinsip nirlaba. BHP dinyatakan sebagai badan hukum nirlaba. Tapi, konsekuensi dalam hal perlakuan pajaknya tidak mengalami perubahan dari kondisi sebelum UU BHP.
Misalnya, pasal 38 ayat (3) menyatakan, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) paling lambat dalam 4 (empat) tahun.
Selanjutnya, pasal 38 ayat (4) menyatakan, apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan.
Pasal 37 ayat (6) menyatakan, kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran; (b) pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi; (c) peningkatan pelayanan pendidikan; dan (d) penggunaan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Saya terkejut membaca berita salah satu koran Jakarta, Sabtu 17 Januari 2009, bertajuk Lembaga Pendidikan Akan Dikenai Pajak. Judulnya seram dan mengejutkan. Tapi, setelah saya pelajari, ternyata isi berita tidak berfokus ke soal perpajakan. Hanya dijelaskan bahwa soal pajak belum dicek ke Dirjen Pajak dan katanya ''akan ada keringanan pajak untuk penyelenggara pendidikan''.
Pasal 38 ayat (4) yang terkait dengan ayat (3) bertentangan dengan prinsip nirlaba karena kewajiban untuk mengalokasikan sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih masih diberi peluang boleh dilanggar setelah batas waktu empat tahun dilampaui dengan ketentuan harus menjadi objek pajak.
Seharusnya, opsi untuk tidak mengalokasikan sesuai ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (6) tidak perlu ada. Jika seluruh BHP (badan hukum pendidikan) merupakan badan hukum nirlaba, seharusnya ia dibebaskan dari beban pajak yang harus ditanggung.
Dalam hal ini, harus dilarang untuk membagikan sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersihnya kepada pendirinya. Jika prinsip tersebut dilanggar, BHP harus dikenai pajak sejak tahun diperolehnya sisa hasil atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih, bukan setelah empat tahun tidak dialokasikan untuk kepentingan BHP.
Ketentuan tersebut tidak memberi insentif bagi BHP membentuk endowment fund, padahal sangat dibutuhkan BHP dalam rangka menangkal dan berjaga-jaga terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan pada masa mendatang.
Di sisi lain, pasal 40 ayat (1) menyatakan, sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan berdasar prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Bagaimana bisa sustain, jika akumulasi pendapatannya dikenai pajak?
Secara mendasar, UU BHP menetapkan BHP merupakan badan hukum nirlaba yang konsekuesinya harus lugas. Seluruh pertambahan kekayaannya tidak pada tempatnya dinyatakan sebagai objek pajak.
Jadi, tidak pada tempatnya kegiatan yang membantu meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan formal dikenai pajak, seharusnya justru mendapatkan alokasi pengeluaran APBN di mata anggaran pendidikan.
Badan hukum yang melakukan pembagian ''dividen'' merupakan badan hukum yang berorientasi mencari laba dan dengan demikian pertambahan kekayaannya harus menjadi objek pajak saat diperolehnya. Tidak usah menunggu jangka empat tahun. Pasal 45 ayat (3) belum secara konsekuen memberikan perlakuan pajak yang lugas bagi BHP.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Terkait dengan kritik pertama tersebut, dengan sikap ''abu-abu'' terkait perpajakan itu, perlu diajukan pertanyaan yang sangat mendasar: ''Apakah BHP masih dikenai (tetap membayar) pajak bumi dan bangunan (PBB)?''
Dalam kenyataannya, perlakuan PBB terhadap kekayaan berupa tanah dan bangunan yang dimiliki perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) bersifat kontras (diskriminatif). PTN tidak membayar PPB karena tanahnya berstatus tanah negara, sedangkan PTS yang harus membeli sendiri tanah yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas pendidikan harus membayar PBB.
Walaupun tarifnya hanya dikenai 50 persen dari tarif normal, realita tersebut timpang. Bagi PTS, beban PBB itu semakin tahun semakin berat akibat kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Secara tidak langsung, PBB tersebut menjadi beban orang tua mahasiswa dan menghambat pertumbuhan keuangan BHP.
Di luar pajak-pajak yang posisi BHP sebagai wajib pungut seperti PPh 21 dan PPh 23. Bukan hanya PBB, tapi juga masih perlu dipertanyakan bagaimana perlakuan pajak terhadap lainnya yang dalam kenyataan sekarang menjadi beban BHP, seperti PPn jasa pembangunan, pajak iklan, dan pajak-pajak lokal yang lain.
Bagaimanapun, pembebanan pajak terhadap lembaga pendidikan sangat layak dipertanyakan.
*. Wibisono Hardjopranoto, guru besar keuangan, rektor Universitas Surabaya
Labels:
Tak tahu lagi orange
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Blog Archive
-
2009
(104)
- October(1)
- July(2)
- May(6)
- April(12)
- March(15)
-
February(40)
- Kontes seo Kampanye damai pemilu Indonesia 2009
- Media Massa, Pemerintah dan Humas
- Ihwal Menggugat Pers
- Komunikasi Gawat Darurat …
- Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Mas...
- Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia
- "Manusia Bugis": Lapis Waktu
- Krisis Relevansi Antropologi di ...
- Menuju Masyarakat Indonesia yang M...
- Menafsir Makna "Ditata" dalam Tayub
- Bahasa dan Dinamika Masyarakat: Sebuah Wacana tent...
- Scholarship News: PhD Scholarships for Developing ...
- Skripsi Fakultas Hukum (Universitas pancasila )
- Cara Cepat dan Benar Menyusun Skripsi
- teknik penulisan Thesis
- Pedoman penulisan laporan
- Aktualitas Filsafat Ilmu dalam perkembangan psikologi
- Skripsiekonomi
- Presiden Harus Orang Indonesia Asli. Tapi Mana Yan...
- Gaji pegawai negeri sipil (PNS) akan naik 15% mula...
- PENDAFTARAN 2009/2010
- Soetandyo Wignyosoebroto: Orang Lupa Memperbaiki H...
- skripsi SDM
- skripsi-sumberdaya-manusia
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- Hipotesis
- UU BHP Perlu Diperbaiki
- Soekarwo Bangun Jatim dengan Birokrasi Krisis
- Mendiknas Batasi BHP PTS Baru
- Kejadian demi kejadian (Pelumpang)
- GURU YANG SESUNGGUHNYA IKUT MENANGIS
- Artikel menarik dari Prof. Priyo Subrobo
- MOBILLE SCHOOL LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT...
- ADA APA DENGAN GURUKU?
- WAJAH BURUK PENDIDIKAN INDONESIA
- MEMBUDAYAKAN BACA KORAN
- Mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak
- January(28)
Blog Archive
-
▼
2009
(104)
-
▼
February
(40)
- Kontes seo Kampanye damai pemilu Indonesia 2009
- Media Massa, Pemerintah dan Humas
- Ihwal Menggugat Pers
- Komunikasi Gawat Darurat …
- Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Mas...
- Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia
- "Manusia Bugis": Lapis Waktu
- Krisis Relevansi Antropologi di ...
- Menuju Masyarakat Indonesia yang M...
- Menafsir Makna "Ditata" dalam Tayub
- Bahasa dan Dinamika Masyarakat: Sebuah Wacana tent...
- Scholarship News: PhD Scholarships for Developing ...
- Skripsi Fakultas Hukum (Universitas pancasila )
- Cara Cepat dan Benar Menyusun Skripsi
- teknik penulisan Thesis
- Pedoman penulisan laporan
- Aktualitas Filsafat Ilmu dalam perkembangan psikologi
- Skripsiekonomi
- Presiden Harus Orang Indonesia Asli. Tapi Mana Yan...
- Gaji pegawai negeri sipil (PNS) akan naik 15% mula...
- PENDAFTARAN 2009/2010
- Soetandyo Wignyosoebroto: Orang Lupa Memperbaiki H...
- skripsi SDM
- skripsi-sumberdaya-manusia
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- SKRIPSI KOMUNIKASI
- Hipotesis
- UU BHP Perlu Diperbaiki
- Soekarwo Bangun Jatim dengan Birokrasi Krisis
- Mendiknas Batasi BHP PTS Baru
- Kejadian demi kejadian (Pelumpang)
- GURU YANG SESUNGGUHNYA IKUT MENANGIS
- Artikel menarik dari Prof. Priyo Subrobo
- MOBILLE SCHOOL LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT...
- ADA APA DENGAN GURUKU?
- WAJAH BURUK PENDIDIKAN INDONESIA
- MEMBUDAYAKAN BACA KORAN
- Mendapat pendidikan yang layak adalah hak setiap anak
-
▼
February
(40)
About Me
- kojek
0 comments: