Thursday, February 12, 2009

Soetandyo Wignyosoebroto: Orang Lupa Memperbaiki Hal-hal Kecil

Oleh Wartawan Kompas, Mohammad Subhan

MENJELANG usia 76 tahun tak berarti loyo. Guru besar emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, seakan mematahkan cap tentang “orang sepuh” itu. Bukan hanya kondisi fisiknya yang masih terlihat bugar, tetapi yang lebih penting adalah semangatnya yang energik, serta gagasannya tentang demokrasi, keadilan, hukum, terus bergulir.

Maret lalu, misalnya, ia masih memberikan “kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Dalam kuliah yang digelar Fakultas Hukum Unair itu, Soetandyo menyoroti perjanjian jual-beli yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan kehendak kepada warga untuk menjual hak milik mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu hendak menyadarkan pengungsi akan hak-hak mereka dan cara memperjuangkannya.

Keberpihakannya membela orang kecil juga dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di dekat rumahnya di kawasan kampus Unair, Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Ketika PKL itu digusur, ia malah membela PKL yang sebetulnya mengganggu lingkungan rumahnya itu. Sebaliknya, ia melarang petugas yang melakukan penertiban itu. Buat Soetandyo, gangguan PKL yang diterimanya itu belumlah apa-apa dibanding perjuangan PKL mencari makan demi hidup. Rasa kemanusiaannya mengalahkan gangguan yang dialaminya.

Bagi anggota Komnas HAM 1993-2002 itu, pensiun sejak 10 tahun silam, tak lantas “berhenti berpikir”. “Kegiatan saya tidak ada, kecuali menyibukkan diri sendiri,” canda pria kelahiran 19 November 1932 ini. Tetapi faktanya, ketika banyak orang berpikir untuk istirahat di masa pensiun, guru besar sosiologi dan pakar administrasi pemerintahan ini malah disibukkan banyak kegiatan. Desember 2007, penulis sejumlah buku ini masih meluncurkan karya terbarunya, Hukum dalam Masyarakat.

Sebagai profesor emeritus, hingga kini Soetandyo masih mengajar di sejumlah universitas seperti Universitas Surabaya dan Universitas Diponegoro (Semarang), menulis artikel, memberikan konsultasi pada mahasiswa termasuk menguji mahasiswa di Malaysia, berdiskusi dengan berbagai kalangan, memberi ceramah di sejumlah kota. Bahkan ia masih aktif di Huma, lembaga nonpemerintah yang bergerak masalah hukum berbasis ekologi.

Kemauan beradaptasi

Namun, sebagai orang yang usianya tidak muda lagi, ia sadar betul. Karena itu, ia menolak membimbing skripsi atau tesis, karena berisiko bagi mahasiswanya. “Di FISIP Unair sempat ada seorang guru besar membimbing 12 mahasiswa S-2, tanpa ko-promotor. Lalu saat beliau wafat, (nasib) 12 orang itu pun terbengkalai. Ketika berumur 65 tahun, saya tidak mau membimbing lagi, karena butuh waktu lama. Kalau konsultasi yang tidak mengikat, ya bolehlah. Umur itu di tangan Tuhan,” ujar Soetandyo yang mantan Dekan FISIP Unair itu.

Meski demikian, ia menjaga agar kondisi fisiknya tetap fit. Hingga kini, Soetandyo konsisten menggenjot sepeda, baik ke kampus, ke bank, atau belanja ke mal. “Saya nggak punya mobil lagi, sudah diambil anak-anak. Saya suka bersepeda, saya kan sudah hidup sendiri, istri sudah pamit duluan (meninggal), anak-anak sudah mandiri semua, jadi apa pun saya kerjakan sendirian,” kata ayah tiga anak dan lima cucu ini.

Tetapi sesungguhnya resep utama yang membuatnya tetap “awet muda” adalah kemauan untuk beradaptasi dengan kenyataan. “Kalau tidak, saya menjadi konservatif, menjadi orang tua yang tidak bisa menerima keadaan. Hidup ini harus selalu menyesuaikan. Ini kan termasuk dalam teori perubahan dan perkembangan. Hewan bisa survive kalau beradaptasi dengan lingkungan, begitu juga manusia, tidak hanya fisik, tapi juga kultural,” kata lelaki berdarah Sunda (ayah) dan Jawa (ibu) ini.

Demokrasi di keluarga

Sayangnya kemauan beradaptasi itu tak disadari banyak orang. Bagi anggota Dewan Juri Yap Thiam Hien Award (2002) ini, anak muda justru lebih adaptif. Sebaliknya orangtua malah minta diseragamkan. “Kalau menyimpang sedikit dianggap sesat, tidak nasionalis. Padahal nasionalisme sekarang sudah berganti pada humanisme, globalisme. Sekarang, kekuasaan nasional memang harus menghadapi pada situasi yang berbeda. Sekarang, semua pihak dan sektor menginginkan pembebasan,” ujarnya.

Boleh jadi faktor-faktor itu ikut memengaruhi karut-marut realitas sosial dan politik di negeri ini. Dalam kacamata Soetandyo, karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal-hal besar saja. Mereka melupakan untuk memperbaiki hal-hal kecil. Padahal hal-hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya fondasi bangsa ini tak lepas dari fondasi yang ada di rumah setiap warga.

“Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi misalnya, harus dimulai dari famili, democracy on the heart of the family. Apa yang saya lakukan, adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tapi ‘negaraku’ itu keluargaku,” kata peraih Master Public Administration di Michigan University, AS, tahun 1963 ini.

Karena itulah, Soetandyo mengajarkan, kalau kita tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, maka bisa dilakukan pada tataran di mana kita memiliki otoritas. Katakanlah soal peredaran narkoba. Jika tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu itu, maka yang bisa dilakukan adalah menjaga agar orang-orang yang disayangi tidak terkena narkoba.

“Kalau Anda bisa mengelola sesuatu yang kecil maka akan bisa me-mengelola yang besar. Saya diilhami syair Khalil Gibran, ketika melihat dunia saat malam. Tuhan menciptakan malam, tapi saya bisa menyalakan lilin. Dunia boleh gelap, tapi lingkungan sekitar saya tetap terang. Dunia saya yang kecil tetap terselamatkan,” katanya.

Tetapi memulai sekaligus mengubah segalanya sangatlah tidak mudah. Terlebih lagi para pemimpin sekarang ini, bukan saja mewarisi kondisi yang sudah telanjur dari sistem lama, tetapi juga terjebak dalam permainan paradigma lama. Tak ada cara lain kecuali mengubah paradigma itu. Menurut Soetandyo, paradigma baru itu harus melompat, mengambil strategi yang benar-benar baru. Karena, problem tidak bisa dipecahkan dengan ilmu yang menyebabkan terjadinya problem tersebut.
***

Berikut wawancara lengkap Soetandyo Wignyosoebroto:

Bagaimana Anda melihat kemauan dan kemampuan beradaptasi masyarakat Indonesia?

Saya lihat anak mudanya sangat adaptif. Tapi orangtuanya yang justru minta diseragamkan. Kalau menyimpang sedikit dianggap sesat, tidak nasionalis. Padahal nasionalisme sekarang sudah berganti pada humanisme, globalisme. Sekarang, kekuasaan nasional memang harus menghadapi pada situasi yang berbeda. Sekarang, semua pihak dan sektor menginginkan pembebasan. Transportasi memungkinkan Anda untuk tidak selalu berada di rumah. Komunikasi juga memungkinkan Anda untuk tidak tunduk pada ajaran tertentu, informasi kian lama kian murah.

Kalau demikian, tidak mudah bagi kita, terlebih menghadapi kondisi yang terus mengglobal, seberapa siapkah kita?

Pemimpinnya harus melihat kenyataan-kenyataan yang ada. Dia tidak lagi bisa menguasai warga sepenuhnya, kecuali atas dasar komitmen-komitmen, jadi harus ada giving and taking, tidak bisa hanya sepihak. Saya tidak tahu mampu atau tidak (masuk ke dunia global). Tapi sekarang itu, kemampuan mengorganisasi itu, manageable atau tidaknya organisasi dan kehidupan berbangsa tergantung pada kemampuan pemerintah pusat dan skala yang ingin dikendalikan.

Mungkin “kesalahan” Indonesia itu, wilayahnya terlalu besar. Sejak awal semua dikontrol secara sentral dengan keyakinan kebangsaan yang kukuh. Bandingkan dengan Singapura yang begitu kecil, tapi manageable. Negara-negara besar selalu di-manage secara federasi, India besar secara federasi.

Mungkin juga kebangsaan yang ditumbuhkan lebih dulu dan penyadaran terhadap kebangsaan. Saya berpikir, bangsa itu ada dua jenis, bangsa tua dan bangsa baru. Bangsa tua itu bangsa-bangsa yang sudah ada secara sejarah tapi tidak ada secara kesadaran bahwa mereka sebangsa. Seperti Perancis, berabad-abad satu bangsa dengan bahasa yang sama, tradisinya sama, tapi mereka tidak pernah sadar bahwa mereka berbangsa yang sama dan membangun negara-bangsa. Ini baru kemudian dilakukan Perancis.

Jadi, bangsa tua adalah bangsa yang sudah ada secara fenomena sejarah, tapi kemudian sebagai fenomena politik. Belanda juga seperti itu. Mereka tunduk pada banyak raja, baru membangun yang namanya kerajaan Belanda abad ke-19, sebelumnya hanya kota-kota dagang yang salah satunya dikuasai oleh Spanyol. Kalau Indonesia merupakan bangsa baru. Nasionalisme itu muncul dulu baru kemudian berikrar membentuk itu. Jadi landasan kulturalnya goyah dan agak belum mantap, terlalu besar, terlalu ambisius.

Sekarang ini, apakah Indonesia telah terbangun kulturalnya?

Satu-satunya kultur yang menjadi ciri yang satu kan bahasa. Itu pun bahasa birokrat, karena yang membangun Belanda, untuk kepentingan birokrasi.

Kalau melihat kehidupan bangsa-bangsa baru, tahapan apa yang harus dilakukan sehingga
komitmen awal ini menjadi kuat, dan terbangun seperti bangsa yang lama itu?

Menurut saya, kultur sebagai infrastruktur. Setelah ada bangsa baru Indonesia, dan banyak bangsa-bangsa kecil, dengan pola dan kultur yang beragam, apa yang dibutuhkan untuk mengisi bangsa baru ini? Dalam situasi ini ya giving and taking itu tadi. Biarkan dia dalam satu proses.

Tapi dalam politik, itu selalu dicurigai sebagai jangan-jangan lepas (merdeka), jangan-jangan separatis. Tapi kian terkekang kan orang makin ingin lepas, contoh Aceh dan Papua. Kalau saya bicara soal infrastruktur itu artinya menjadikan bangsa ini lebih based solid, sosio-cultural ground, sehingga harus terbuka dan ada konsensus-konsensus di bidang kultur. Yang bergerak secara ekstensif itu harusnya kultur.

Relasi politik bisa dibangun juga?

Bisa, tapi harus dengan energi lebih, dan apakah anggaran negara itu cukup. Dulu itu atas dasar semangat dan semangat itu harus diperbarui dari waktu ke waktu. Bangsa itu kalau dibangun atas keinginan bersatu, itu sebenarnya konsensus dan referendum dari hari ke hari. Di Indonesia tidak ada konsensus. Konsensus yang ada di negeri ini hanya sekadar upacara-upacara saja.

Kita ini selalu “merdeka atau mati”, berunding saja tidak mau, toh pada akhirnya berunding juga tapi dalam suasana yang tidak bersahabat. Kita bisa mengejek Malaysia, merdeka kok tidak punya taman makam pahlawan. Tapi, evolusi ketatanegaraannya itu lebih stabil, dan hubungan antara tiga suku besar sedikit banyak terkontrol. Mereka tidak punya pahlawan, tapi mereka kedatangan pahlawan dari kita (TKI). Jadi kita terhinakan juga.

Bangsa kita akan seperti ini kalau paradigmanya tidak berubah?

Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi misalnya, harus dimulai dari famili, democracy on the heart of the family. Tapi kita mencoba untuk menerapkan democracy on the heart of the nation, sementara rumah tangga bangsa ini berantakan semua. Apa yang saya lakukan, adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tapi negaraku itu keluargaku. Katakanlah negara ini runyam dan di mana-mana berkelahi. Saya tidak punya kuasa untuk menyelesaikan masalah itu.

Tapi, apakah saya tidak bisa mengendalikan lingkungan-lingkungan di mana saya memiliki wibawa. Saya tidak bisa mengontrol negara ini, lha gubernur saja bukan, wali kota juga bukan, rektor saja kalah dalam pilihan. Tetapi kalau yang mendengarkan saya, mencoba mempraktikkan dalam kehidupan sehari-harinya, dan secara estafet disampaikan kepada teman-teman yang lain.

Kalau Anda tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, harus ada perubahan di tataran di mana Anda memiliki otoritas. Misalnya peredaran narkoba, saya tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu itu. Yang bisa saya lakukan adalah menjaga agar orang-orang yang saya sayangi tidak terkena narkoba. Artinya harus dimulai dari yang kecil, masing-masing mengontrol lingkungannya masing-masing.

Saya diilhami syairnya Khalil Gibran, ketika melihat dunia saat malam. Tuhan menciptakan malam, tapi saya bisa menyalakan lilin. Dunia boleh gelap, tapi lingkungan sekitar saya tetap terang. Dunia saya yang kecil tetap terselamatkan. Jadi tampaknya semua orang berorientasi memperbaiki yang besar tapi lupa memperbaiki yang kecil-kecil. Banyak orang juga mengatakan, perbaikan dimulai dari diri sendiri, ini sebenarnya prinsip dari memperbaiki dan mulai dari yang kecil. Kalau Anda bisa mengurus sesuatu yang kecil maka akan bisa mengurus yang besar.

Apa pemimpin sekarang bisa mengelola?

Pemimpin sekarang sebenarnya mewarisi yang sudah telanjur. Tapi, juga terjebak dalam permainan paradigma yang lama. Saya tidak tahu apakah bisa keluar atau tidak dari paradigma itu. Paradigma itu kan harus melompat, mengambil suatu strategi yang baru, sesuatu yang lain. Karena, masalah tidak bisa dipecahkan dengan ilmu yang menyebabkan terjadinya masalah itu.
Timbulnya permasalahan memang karena paradigma yang salah. Anda tidak bisa menyelesaikan masalah dengan paradigma yang menyebabkan itu salah. Seperti kemacetan di Jakarta, itu pemikiran sentralisme, semua harus diselesaikan di Jakarta. Tapi kemudian untuk mengambil yang tidak Jakarta, tidak semudah itu untuk mendesentralisasi.
Subhan SD
Kompas

0 comments:

Blog Archive

Blog Archive

About Me