Thursday, January 22, 2009

Pendidikan Murah? "Ah... Ndobos!"

Pendidikan Murah? "Ah... Ndobos!"

ANTI hampir saja tidak bisa mengenyam pendidikan. Pasalnya, untuk masuk SD negeri di dekat rumahnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, orangtuanya harus merogoh kocek. Padahal, sebagai pekerja serabutan, uang sebesar itu bisa dipastikan tidak dimiliki Yanto, ayah Anti. Untung ada penilik sekolah yang berbaik hati mau "menolong". Meski demikian, Yanto tetap harus mengeluarkan uang Rp 500.000. Tak mengherankan bila pagi itu, Yanto kelabakan mencari uang, mengutang ke sana kemari. Buat apa? "Ya buat menyekolahkan Anti," sahut Yanto. Lho, katanya sekolah gratis. Logikanya, untuk masuk sekolah negeri, kalaupun harus membayar, tentu tidak mahal. Artinya, pendidikan sudah murah. "Siapa bilang pendidikan murah? Ah... ndobos!" sergah Yanto yang asal Yogyakarta ini.

LAIN lagi pengalaman Warmin yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu. Karena tak ingin berpisah dengan keluarganya, ia memboyong anak dan istrinya dari Subang ke Jakarta. Dan sesuai dengan pemahamannya, ia menyekolahkan anaknya di sekolah dasar (SD) negeri di kawasan Klender, Jakarta Timur, dengan pikiran sekolah milik pemerintah itu tentu tidak menyedot biaya. "Ternyata banyak juga pengeluaran untuk anak negeri. Buku berganti-ganti. Belum iuran ini dan itu. Akhirnya, ya terasa mahal juga," ujar Warmin.

Ibu Suyati mempunyai pengalaman lain. Sebagai istri seorang pegawai negeri, ibu tiga anak ini benar-benar dibuat pusing dengan harga buku-buku pelajaran yang harus digunakan putri sulungnya. Kalau memesan melalui sekolah atau toko-toko buku terkenal, harganya dirasa agak tinggi. Tanpa berpikir panjang, Ny Suyati segera ke Kompleks Gedung Maya Indah, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Dengan tekun dan tabah, Ny Suyati masuk-keluar toko-toko buku yang menjadi grosir buku-buku pelajaran.

"Harga buku biologi terbitan Erlangga yang di toko buku ternama seharga Rp 65.000, di sini (Senen-Red) harganya sama, tetapi mendapat potongan 25 persen. Lumayan kan? Padahal, untuk keperluan buku pelajaran, semua bisa diperoleh di sini, berikut dengan potongannya. Ya, lebih dari lumayan," tutur Ny Suyati.

Untuk keperluan seragam, banyak orangtua yang terpaksa harus mencari di luar sekolah. Keluarga Widiastuti, misalnya, untuk mencukupi kebutuhan seragam ketiga anaknya, diputuskan untuk belanja di pasar. Disadari benar, harga seragam di sekolah dengan di pasar mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Untuk seragam SD, misalnya, harga satu setel baju putih dan celana merah di sekolah sebesar Rp 70.000. Padahal, masing-masing anak paling tidak harus memiliki dua setel baju seragam. Itu berarti, untuk seragam satu anak harus dikeluarkan Rp 140.000. Sedangkan untuk tiga anak, paling tidak harus keluar Rp Rp 420.000. Belum lagi baju seragam pramuka yang lengkap seharga Rp 150.000. Ditambah lagi, kalau siswa masuk sekolah swasta, biasanya masih ada seragam sekolah, entah berupa baju batik atau lainnya.

"Di pasar, harga baju putih hanya Rp 15.000, sedangkan celana antara Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Memang, kalau membeli seragam di pasar tidak ada badge sekolah. Beli aja badge-nya di sekolah, tinggal jahit sendiri. Ini baru seragam resmi, baju putih dan celana merah atau baju putih dan celana biru. Belum lagi harga buku. Buku- buku bekas kakak-kakak kelasnya tidak lagi bisa dipakai. Paling-paling dijual sebagai kertas kiloan. Meski buku itu dulu dibeli dengan harga Rp 50.000, setelah tahun ajaran baru berlalu, harganya tinggal Rp 750 per kilogram. "Iki sekolah opo?" gumam Ny Widiastuti.

PERGULATAN orangtua untuk menyediakan uang ekstra setiap awal tahun ajaran hampir sudah menjadi pemandangan umum. Maka, tidak mengherankan bila akhir tahun ajaran, kini bukannya ditanggapi dengan kegembiraan lagi, tetapi kebingungan, bahkan frustrasi. Berapa lagi uang yang harus dikeluarkan untuk membeli keperluan sekolah. Keluhan yang umum terjadi adalah selalu digunakannya buku baru. Padahal, harga buku ini setiap tahun bukannya turun, tetapi terus naik.

Untuk pelajar SD, misalnya, paling tidak harus disediakan buku matematika (seharga Rp 25.000), bahasa Indonesia (Rp 15.000), IPA (Rp 15.000), IPS (Rp 15.000). Belum lagi buku-buku yang lain. Paling tidak, untuk keperluan buku-buku pelajaran anak SD diperlukan biaya antara Rp 125.000 hingga Rp 170.000.

Yang lebih menyedihkan adalah masalah "perdagangan" buku ini telah menyeret sekolah menjadi pasar sekaligus pedagang. Sekolah sudah "ikut bermain" dalam memasarkan buku. Maklum, para penerbit yang bukunya digunakan di sekolah akan memberi iming-iming diskon 20 persen-30 persen untuk setiap buku. Bisa dibayangkan, berapa banyak uang diskon yang terkumpul nantinya.

"Anak saya di SD swasta dan termasuk daerah Banten. Ada tujuh buku yang harus dibeli, yaitu Matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan Agama. Harga seluruh buku itu Rp 125.000. Itu untuk anak yang duduk di kelas 1. Meski anak saya tidak naik kelas dan harus mengulang di kelas 1 SD, buku pelajaran pun tetap harus ganti. Anak kedua yang duduk di kelas IV harus membeli delapan buku pelajaran seharga Rp 202.000. Sedangkan untuk anak ketiga yang duduk di kelas VI SD, saya harus mengeluarkan Rp 169.000 untuk buku-buku pelajaran. Pusing Mas, benar-benar pusing kalau memikirkan sekolah sekarang ini," keluh Ny Widiastuti.

Selain membiayai anak-anaknya, Ny Widiastuti juga tergerak untuk membiayai anak pembantunya yang duduk di kelas 1 sekolah menengah pertama (SMP) negeri. Ternyata, biaya yang harus dikeluarkan juga cukup tinggi. Ia mengemukakan, untuk keperluan buku-buku pelajaran, pihaknya harus mengeluarkan Rp 160.000 per semester. Anehnya, meski sudah membayar, buku-buku itu tidak langsung bisa diterima murid. Maka, kalau nanti satu buku pelajaran terdiri dari "jilid" A dan B, siswa-siswi masih berkewajiban membeli "jilid" B.

"Selain harus mengeluarkan uang untuk membeli buku seharga Rp 160.000, saya juga masih harus mengeluarkan uang Rp 270.000. Uang ini sudah mencakup uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan), seragam olahraga, satu set seragam sekolah, baju putih dan celana biru. Tetapi, yang lebih mengagetkan, ternyata untuk masuk SMP negeri itu, orangtua murid masih diminta uang pembangunan Rp 800.000," ungkapnya.

Itu semua baru menyangkut baju seragam dan buku pelajaran. Belum lagi keperluan sepatu dan tas. Untung, harga sepatu anak-anak yang sederhana Rp 50.000-Rp 70.000. Kaus kaki sekitar Rp 10.000. Sedangkan harga tas, juga yang sederhana dan umumnya berbentuk backpack, sekitar Rp 50.000.

Maka, pada hari pertama sekolah, seorang siswa SD yang menggunakan seragam baru, sepatu baru, kaus kaki baru, tas baru yang berisi seluruh buku-buku pelajaran yang masih baru, sama dengan seorang anak "memikul" beban seharga Rp 270.000- Rp 360.000.

"Itulah biaya yang harus dikeluarkan ketika anak baru masuk sekolah. Belum lagi, kalau di swasta, uang sekolah bulanan. Maka, tidak mengherankan bila biaya sekolah sekarang terasa mahal," ungkap Ny Suyati.

Pertanyaannya kini, bagaimana mungkin masyarakat yang berpenghasilan rendah, seperti buruh mencuci, pembantu rumah tangga, buruh kasar di pasar, bisa menyekolahkan anaknya? Padahal, Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan Ayat (2) menyatakan, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Perintah UUD 45 ini diperkuat lagi melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Pasal 5 Ayat (1) UU SPN menyebutkan, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1), Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1), serta Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2). (Lihat Menuntut Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan, hal 39)

Meski ada Amandemen UUD 1945 dan UU SPN, kalau pemerintah tidak ada uang, tetap saja "perintah" kedua undang-undang itu tidak bisa dilaksanakan. Tetap saja pemerintah tidak bisa mengatasi masalah pendidikan yang sudah telanjur kronis. Namun, juga tidak adil bila masyarakat menuntut agar pemerintah berjuang sendirian untuk mengatasi masalah ini.

Mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (Education for All) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, tahun 1990, pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan orangtua. Pengertian masyarakat di sini perlu diperluas, yaitu melibatkan kalangan bisnis. Mereka yang kaya dan masyarakat bisnis yang potensial perlu dilibatkan untuk mengatasi sulitnya mendapatkan dana untuk membangun pendidikan. Salah satu gagasan yang pernah muncul, dulu, adalah adanya pajak pendidikan. Pemerintah pusat maupun daerah perlu mendorong para pengusaha dan orang-orang kaya untuk ikut mengembangkan masyarakat. Sekian persen keuntungan digunakan untuk membantu pemerintah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yaitu pendidikan dan kesehatan. Bila pemerintah dapat "mengajak" peran swasta ikut membiayai pendidikan bisa dibayangkan bahwa sejumlah sekolah yang bagus akan tampak di sekeliling pabrik atau tempat produksi. Tentu saja ini semua harus ada timbal baliknya. Bagi perusahaan yang sudah memberikan sebagian keuntungannya untuk pendidikan dibebaskan dari pajak-pajak yang lain. (Lihat, Pajak Sosial Pendidikan, Mengapa Tidak? hal 40)

BANYAK pihak melihat, mahalnya biaya pendidikan dan kian melangitnya harga buku pelajaran semakin ikut meminggirkan masyarakat kelas bawah. Akses anak-anak mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan, sebagaimana dialami anggota masyarakat yang lain, semakin sulit diwujudkan karena kendala uang.

Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan

Berbagai diskusi dan pembicaraan mengenai hal ini sudah sering dimunculkan. Awal Mei 2004, di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga digelar seminar bertajuk "Menggugat Pendidikan".

Darmaningtyas, penasihat Centre for The Betterment of Education (CBE) yang tampil dalam seminar itu, menuding otonomi pendidikan sebagai biang keladi semakin terbatasnya akses pendidikan bagi masyarakat kelas bawah karena biaya pendidikan justru semakin mahal.

Darmaningtyas menunjukkan kenyataan, sekolah negeri yang seharusnya menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat (termasuk masyarakat bawah) kini justru terbukti menaikkan biaya pendidikan. Akibatnya, akses dan kesempatan masyarakat kelas bawah untuk bisa memperoleh dan menikmati pendidikan semakin terbatas.

"Yang menyedihkan, anak-anak yang bodoh dan yang berasal dari keluarga tak mampu secara ekonomis justru yang paling banyak dirugikan akibat mahalnya biaya pendidikan. Akibat kemiskinannya, mereka terpaksa masuk sekolah yang juga minim fasilitas dan bermutu rendah. Akibatnya bisa diduga, hasil studi mereka pun tak bisa mencuat. Hasil studi yang rendah otomatis akan menjadi tembok penghalang bagi mereka bila ingin masuk ke sekolah favorit.

Keadaan ini memaksa mereka hanya bisa masuk sekolah yang tidak bermutu dengan disiplin rendah. Pada akhirnya, mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan pengetahuan. Begitu seterusnya sehingga pendidikan yang akan dilalui masyarakat kelas bawah terus berputar pada lembaga-lembaga pendidikan yang tidak bermutu. Bisa diduga, hasil pendidikan yang tidak bermutu akan mengarahkan mereka pada pekerjaan rendahan," tutur Darmaningtyas.

Melihat kenyataan ini, sudah selayaknya pemerintah turun tangan dan mencari upaya pemecahannya. Jangan sampai lingkaran kemiskinan pengetahuan terus berputar hanya pada masyarakat kelas bawah. Padahal, seluruh masyarakat selama ini meyakini bahwa sekolah merupakan sarana untuk menggapai kehidupan yang lebih layak.

Jangan sampai, masyarakat telanjur tidak percaya pada pemerintah, yang mempunyai tugas utama menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh warganya. Kalau tidak, jangan salahkan masyarakat bila mengomentari pendidikan kita ndobos alias bohong. (tonny d widiastono)

0 comments:

About Me