Tuesday, February 24, 2009

Kontes seo Kampanye damai pemilu Indonesia 2009

Kampanye damai Indonesia 2009 adalah sebuah tindakan politik bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna mempengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian, Dalam sistim politik demokrasi, kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral pencapaian dukungan, dimana wakil terpilih atau referenda diputuskan. Kampanye politis tindakan politik berupaya meliputi usaha terorganisir untuk mengubah kebijakan di dalam suatu institusi,

Bentuk dan jenis

Kampanye damai Indonesia 2009 umumnya dilakukan dengan slogan, pembicaraan, barang cetakan, penyiaran barang rekaman berbentuk gambar atau suara, symbol, pada sistim politik totaliter, otoliter kampanye sering dan biasa dilakukan kedalam bentuk tindakan teror, intimidasi, propaganda atau dahwah.
Kampanye damai indoneisa 2009 dapat juga dilakukan melalui internet dan bisa juga di bikin kontes seo Indonesia yang diadakan pogung (bloger Indonesia).

Tujuan

Kampanye damai Indonesia 2009 pada awalnya dijalankan untuk sebuah rekayasa Pencitraan kemudian berkembang menjadi upaya persamaan pengenalan sebuah gagasan atau isu kepada suatu kelompok tertu yang diharapkan mendapatkan feedback.

Sarana

Bentuk kampanye secara konversional yang hanya lebih mengarah pada Indoktrinasi atau Pencitraan ini dikatakan sebagai sebuah perbuatan yang dungu oleh Jimmy (Jimbo) Wales pada tanggal 4 July 2006

Monday, February 23, 2009

Media Massa, Pemerintah dan Humas

Media Massa, Pemerintah dan Humas

Media massa sering dikatakan memiliki peran sebagai "anjing penjaga" dan berdiri di sisi yang berlawanan dengan pemerintah. Salah satu manfaat utama pers yang bebas dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk menyediakan informasi pada masyarakat mengenai kinerja pemerintah.

Tetapi, sukar ditemukan alasan yang mendasari pers sebagai "anjing penjaga" kinerja pemerintah. Istilah tersebut mengesankan bahwa pers telah menjadi perwakilan dari rakyat untuk 'menjaga' dan 'memerhatikan' kinerja pemerintah. Dengan asumsi itu, pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar. Pers pun memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila sukses memperlihatkan 'kegagalan' pemerintah. Dengan senang hati, pers memublikasikan informasi yang bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir bahwa yang dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat. Kenyataannya, pers pada umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba.

Pers itu bebas, termasuk untuk berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa saja bersikap mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang bersikap kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan pemerintah, atau sebagai 'pengawal' kebijakan pemerintah. Sebuah media massa dapat mengritisi dan menentukan bagaimana suatu kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat bertindak sebagai "anjing penjaga" atau "senjata" untuk mendukung atau sebaliknya menyerang pemerintah.

Suara pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur media. Pernyataan pemerintah segera ditanggapi dalam tajuk rencana yang menginterpretasikan apa yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan apa yang 'sebenarnya' dimaksudkan. Sayangnya, kadang interpretasi tersebut cenderung premature dan instant. Analisis instan segera menjadi bias instan. Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan masyarakat. Hal-hal demikian berdampak negatif pada pemberitaan mengenai pemerintah.

Benarkah pemerintah membutuhkan pers sebagai kanal informasi untuk masyarakat? Benarkah pemerintah tanpa pers benar-benar tidak berdaya untuk menyosialisasikan kebijakan dan pelayanan publik? Benarkah hubungan yang terjalin antara media massa swasta dan pemerintah layak dijalankan meskipun ada kemungkinan besar terjadi pengemasan berita yang bias hingga mengarah pada runtuhnya kepercayaan masyarakat?

Kenyataannya, banyak jurnalis bergantung pada aparat pemerintah untuk pemberitaan. Faktanya, semua informasi yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah didapat dari (bahkan divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-event nasional, kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas berwenang. Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan sumber resmi pemerintah. Pemerintah memberikan respons dengan menyediakan informasi yang padat dan seimbang, undangan untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan, bahkan menyediakan 'tunjangan' demi menghindari publikasi negatif. Ungkapan "WTS" (Wartawan Tanpa Surat Kabar), Wartawan CNN (Wartawan Cuma Nanya-nanya) pun tetap populer di kalangan jurnalis yang sering mencari berita di instansi-instansi pemerintah.

Agar masyarakat menerima informasi yang jernih dan berimbang, pemerintah harus lebih melibatkan diri dalam dunia media massa.

Peran Humas

Pemerintah saat ini telah memiliki kapasitas untuk mengungkapkan informasi secara langsung. Kembalinya Departemen Penerangan dengan kemasan baru, kehadiran beragam situs resmi instansi pemerintah yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah, kehadiran puluhan media massa internal pemerintah serta beragam jurnal menunjukkan kemampuan pemerintah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Dhus, pemerintah sebaiknya mulai mengurangi peran instansi swasta dalam pemberian informasi.

Hampir seluruh instansi pemerintah memiliki kantor humas, divisi yang melakukan manajemen media massa, pembangun citra, jembatan pemerintah dengan masyarakat, serta penghubung pemerintah dengan pers. Kantor humas telah melakukan publikasi internal, memberdayakan kantor-kantor wilayah serta unit pelayanan teknis agar berperan sebagai outlet informasi. Pejabat humas pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan bersaing dengan editor institusi swasta, khususnya dalam uji kompetensi. Tetapi, citra pegawai negeri sipil selama ini selalu dianggap korup dan terlalu santai. Kesan negatif pun telanjur menancap di benak masyarakat kita. Citra warisan yang telah berumur puluhan tahun yang semestinya diubah.

Sebelum bola reformasi bergulir, pemerintah memiliki imej sebagai manipulator informasi. Bahkan setelah reformasi, imej ini tidak banyak berubah. Pemerintah seolah dianggap 'musuh' yang harus dilawan. Dengan bergulirnya reformasi, pemerintah menransformasikan diri agar menjadi pemerintahan yang bersih dan benar.

Masyarakat telah memahami hak-haknya yang sekaligus juga menjadi kewajiban pemerintah. Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat menuntut sistem pemerintahan yang bersih dan transparan. Masyarakat berhak atas akses informasi, sebaliknya pemerintah wajib menjamin akses tersebut terjaga dan terkontrol agar tidak menimbulkan ekses negatif akibat eksploitasi pemberitaan yang bombastis. Karena, pada akhirnya rakyat juga yang dirugikan.

Wajah aparat birokrasi kita yang memang carut-marut sudah saatnya diperhatikan melalui perbaikan gaji sekaligus perbaikan kinerja dengan terus meningkatkan citra pegawai negeri dan membangun sistem yang transparan. Tentu implementasinya tidaklah mudah karena tradisi yang tercipta selama puluhan tahun.

Seiring dengan perubahan menuju tatanan baru demokrasi, reformasi segala bidang termasuk di dalamnya reformasi performa pegawai negeri, sistem kehumasan serta sistem hubungan dengan media massa, maka memberdayakan divisi humas untuk mengubah citra aparat birokrasi agar lebih tanggap menyikapi fenomena masyarakat, sangat penting. Perkembangan teknologi informasi menuntut divisi humas dituntut lebih responsif terhadap keluhan masyarakat.

Bahwa institusi pemerintah tidaklah seburuk yang disangka dan pegawai negeri adalah juga rakyat Indonesia. Seyogianya kantor-kantor humas memang harus diberdayakan untuk menjaga nama baik aparat pemerintah serta menjalin kerja sama dengan pers agar tercipta pemberitaan yang berimbang, bermanfaat, dan bertanggung jawab. ***

Oleh: Fatma Puspita Sari, pegawai negeri sipil, alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Massa,
Fakultas Sospol Universitas Sebelas Maret Solo.

Ihwal Menggugat Pers

Ihwal Menggugat Pers

Many libel suits are filed by persons who were not actually libeled, but who are angry about unfavorable but true (and thus nonlibelous) publicity (Overbeck, "Major Principles of Media Law", 2003).

Pengamatan Wayne Overbeck, pakar dari California State University, Fullerton, juga anggota "the California Bar" ini, mestinya reliable (dapat dipercaya/diandalkan). Buku Major Principles of Media Law sendiri telah dicetak hingga edisi ke-14 dan sudah disesuaikan dengan kasus aktual selama 12 tahun terakhir.< tahun 12 selama aktual kasus dengan disesuaikan sudah dan ke-14 edisi hingga dicetak telah sendiri Law Media of Principles Major Buku diandalkan). dipercaya (dapat reliable mestinya ini, Bar? California ?the anggota juga Fullerton, University, State dari pakar Overbeck,>

Kita sadar sistem hukum media kita tak persis sama dengan Amerika Serikat (AS). Namun, intinya di sini adalah perbandingan dan upaya memetik pelajaran dari filosofi kebebasan pers dan berekspresi sekaligus perlindungan terhadap kepentingan publik. Apalagi gugatan terhadap pers tiba-tiba marak belakangan ini, khususnya gugatan defamation (fitnah, pencemaran) terkait berita yang diklaim tak sesuai fakta, lalu diikuti tuntutan ganti rugi.

Definisi dan perlindungan

Overbeck membuat ringkasan berupa daftar unsur-unsur yang melekat pada sebuah pernyataan (pers) untuk mengategorikannya sebagai pencemaran. Satu, pernyataan itu harus sungguh-sungguh defamatory artinya (sering) bertujuan merusak reputasi seseorang. Dua, mengidentifikasi siapa korban yang ia rencanakan sebagai target, entah dengan menyebut nama atau dengan berbagai cara penggambaran lain yang juga dimengerti oleh orang-orang di luar atau selain korban. Tiga, dikomunikasikan, entah melalui media cetak atau penyiaran yang setidaknya didengar atau dilihat oleh satu orang lain di luar si korban dan pembuat pernyataan. Empat, dalam banyak kasus, harus jelas terdapat sebuah unsur kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan (fault). Mahkamah Agung AS telah memutuskan dalam kasus-kasus menyangkut kepentingan/keprihatinan publik diharuskan adanya bukti bahwa sebuah kebohongan telah disebarkan dan suatu media (massa) bersalah karena niat jahat yang riil atau setidaknya karena kecerobohan dalam memublikasikannya. Lima, jika sang korban tidak dapat membuktikan adanya niat jahat yang riil, haruslah ada bukti dari kerusakan-kerusakan (yakni, kerugian yang mungkin dikompensasi dalam bentuk uang).

Jika kategori "pencemaran" membutuhkan paling sedikit empat dari lima elemen tersebut, ternyata untuk menghadang gugatan terhadap pers dalam hal itu hanya dibutuhkan 1 dari unsur-unsur berikut yang disebut legal defenses untuk proses kerja pers. Satu, kebenaran; pernyataan mana pun yang secara substansial benar dilindungi hukum! Mereka yang menggugat media umumnya harus menanggung the burden of proving falsity (beban untuk membuktikan kepalsuan). Apalagi disadari, semakin korup suatu pihak (entah karena kekuasaan atau kekerasan), makin besar kemampuan mereka menghalangi pers untuk memperoleh data rinci. Penggugat mesti membuktikan tidak hanya pemberitaan pers itu adalah salah, tetapi juga merupakan akibat kecerobohan atau niat jahat yang riil. Pada tahun 1997, hakim di Houston membatalkan kemenangan awal sebuah perusahaan yang menuntut Wall Street Journal dengan tuduhan laporannya menyebabkan kebangkrutan, senilai sekitar dua ratus juta dollar, karena terbukti perusahaan itu menahan bukti-bukti penting yang mestinya dulu memperkuat laporan Wall Street Journal.

Dua, hak-hak istimewa (privilege) bahwa laporan-laporan yang akurat tentang proses di badan legislatif, pengadilan, dan cabang eksekutif, serta berbagai dokumen pemerintah dilindungi hukum meski terkesan libelous (mencemarkan). Tiga, pernyataan opini tentang performance dari figur yang menjadi pusat perhatian orang banyak dan media (misalnya, politikus, aktor, olahragawan, dan selebritis) dilindungi di bawah the common law fair comment defense, sekaligus oleh The First Amendment.

Sebenarnya isi Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999 telah menunjukkan filosofi yang sama. Pasal 5 Ayat (1) UU Pers dengan jelas menyatakan, kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ayat (2) menyebutkan pers wajib melayani hak jawab, yakni hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberi tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 Ayat 11). Begitu pula, Pasal 5 Ayat (3) mewajibkan pers melayani hak koreksi. Jika pers melanggar pasal-pasal tersebut serta kode etik jurnalistik (Pasal 7), ia dapat digolongkan melakukan fitnah atau pencemaran karena tidak melakukan pekerjaan jurnalistik secara profesional!

UU Pers juga memiliki legal defenses yang melindungi pers dari gugatan yang tidak cukup beralasan. Bersama dengan Pasal 3 dan 4, Pasal 6 secara detail menjelaskan peranan pers untuk (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan; (c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; (d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Kembali pada perbandingan dengan uraian Overbeck di atas, UU Pers kita memang perlu memiliki pasal tentang pencemaran yang cukup detail sehingga berbagai kasus tidak lagi harus ditarik ke produk hukum lain karena tidak secara jelas diatur dalam UU Pers. Ini juga catatan penting untuk menguatkan UU Pers menuju posisi Lex Specialis.

Badan pemerintah

Overbeck kemudian menyatakan bahwa badan-badan pemerintah di AS tidak mungkin bisa mengajukan gugatan terhadap pers (meski pegawai pemerintah sebagai individu dapat melakukannya jika reputasi pribadinya dirusak oleh pemberitaan pers). Landasan filosofi di belakangnya kurang lebih: uang rakyat tidak boleh digunakan untuk menggugat kebebasan masyarakat mendapatkan dan mendiskusikan informasi!

Filosofi ini mestinya berlaku juga untuk perusahaan atau institusi yang berada di bawah manajemen badan pemerintah kita, seperti BPPN, misalnya, atau yang mendapat suntikan dana pemerintah (baca: uang publik). Bahwa ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan pers, tentu seharusnya ditindaklanjuti dengan hak jawab dan pengaduan kepada Dewan Pers sebagaimana diatur pada Pasal 15 UU Pers. Adanya mekanisme dan proses lanjutan seperti ini yang membuktikan bahwa suatu pemberitaan pers tidaklah bersifat "final". Semakin cepat hak jawab disampaikan, dalam ilmu komunikasi, umumnya semakin efektif (hal mana tergantung betul dari kemampuan atau kelemahan pihak tertentu melakukan analisis).

Akhirnya, artikel ini harus ditutup dengan pesan bahwa pers tidaklah untouchable! Mereka yang terbukti tidak melakukan journalism work dan memang punya niat jahat riil melakukan pencemaran, pantas dihukum! Namun, Overbeck segera mengingatkan bahwa kekhawatiran terhadap gugatan pencemaran sering menyebabkan wartawan melakukan self-censorship yang berakibat menghalangi hak publik mendapat informasi! Tambahan lagi, menurut Overbeck, banyak gugatan itu diajukan oleh orang- orang yang sadar bahwa, menilik materi gugatan mereka, hanya terdapat kesempatan kecil saja untuk-pada akhirnya-memenangkan perkara tersebut. Barangkali ini relatif terkait dengan upaya melemparkan kesalahan pada pihak lain atau sekadar mau "menunjukkan siapa saya/kami". Pengadilan, pers, dan publik kita kini sedang belajar menghadapinya!

Effendi Gazali Staf Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI

Komunikasi Gawat Darurat …

Komunikasi Gawat Darurat …

Dalam perjalanan mudik ke Salatiga, sebut saja Y beserta suami dan anaknya yang masih berusia 5 tahun, mengalami kecelakaan di daerah Sleman dimana sepeda motor yang dinaikinya tersenggol bus. Dalam kejadian tersebut suaminya meninggal di tempat, Y dan anaknya terluka parah. Mereka dibawa ke sebuah puskesmas pembantu terdekat. Namun karena terbatasnya peralatan di puskesmas pembantu tersebut, Y hanya diberikan pertolongan pertama dan diinfus untuk selanjutnya dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih besar.

Sekilas, tidak ada masalah yang terjadi disini. Namun dalam keadaan panik dan terluka parah sambil menunggu proses pemindahan ke RS yang lebih besar Y terus menerus bertanya mengapa dia tidak ’diapa-apain’, mengapa dokter tidak melakukan apa-apa padahal seluruh tulang rusuknya remuk dan jawaban dokter setiap ditanya hanyalah ’tunggu keluarga datang’. Rupanya, Y langsung berasumsi bahwa yang dimaksud dengan kata-kata ’tunggu keluarga datang’ sama dengan ’selesaikan semua administrasinya alias ada jaminan pembayaran baru pasien ditangani’.

Ketika menengoknya di RS tempat ia dirawat kemudian, Y masih dengan berapi-api mengungkapkan kemarahannya bahwa rasanya saat itu ketika keadaannya sudah di ambang kematian sekalipun, petugas medis masih harus memastikan dulu urusan administrasi beres sebelum melakukan tindakan.

Saya mencoba mendengarkan dengan baik dan mencermati kronologis permasalahannya. Rasanya hal-hal semacam ini seringkali terdengar. Dalam kasus Y, sebenarnya pihak puskesmas pembantu sudah melakukan semua tindakan medis yang mungkin dilakukan dalam kondisi tersebut sesuai prosedur dan kapasitasnya. Namun mengingat keterbatasan peralatan, tidak semua pemeriksaan dapat dilakukan saat itu, misalnya untuk foto rongent tentu saja harus dirujuk ke RS yang menyediakan fasilitas tersebut.

Bisa dipahami, kondisi pasien yang schock akibat kehilangan suami dan luka parah yang dideritanya serta kondisi sang anak tentu membuatnya panik. Secara psikologis dia berharap segera mendapatkan pertolongan atau perawatan terpadu seperti yang sering dilihat di film ER. Sama sekali tidak menyadari bahwa dia sedang berada di sebuah Puskesmas Pembantu.

Masalah ini jika dilihat dari perspektif dan sedikit perlakuan yang berbeda akan menimbulkan kesan yang berbeda pula.

Yang dimaksud dengan ’tunggu keluarga datang’ oleh pihak Puskesmas Pembantu saat itu adalah, kami sudah melakukan pertolongan pertama dan untuk tindakan selanjutnya yang membutuhkan tenaga medis dan peralatan yang lebih memadai Anda harus dirujuk ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas lebih baik. Detil teknis mengenai hal ini lebih baik dibicarakan dengan pihak keluarga, dengan asumsi kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima segala informasi tersebut. Inilah pesan yang sebenarnya ingin disampaikan tapi kemudian ditangkap sangat lain oleh pasien karena stereotipe yang sudah begitu melekat di kata-kata ’tunggu keluarga datang’.

Menakjubkan, bagaimana sebuah kalimat/pesan bisa diartikan sangat lain oleh penerima pesan.

Dalam situasi seperti itu kadang petugas medis terjebak pada pemikiran bahwa, tidak memungkinkan mengkomunikasikan sesuatu berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan diambil pada pasien dengan kondisi parah mengingat faktor ketidaksiapan pasien untuk menerima informasi dalam kondisi tersebut.

Lalu, bagaimana menyampaikan dengan tepat tanpa menyumbangkan faktor yang memperburuk kondisi pasien?

Dalam kasus Y tersebut, mungkin bisa dicoba kemasan pesan yang lebih informatif dari sekedar ’tunggu keluarga datang’. Misalnya, sampaikan bahwa sudah dilakukan pertolongan pertama pada Anda dan karena keterbatasan petugas medis dan peralatan yang dimiliki puskesmas pembantu ini, maka pemeriksaan dan perawatan selanjutnya akan dirujuk ke Rumah Sakit A.

Berikan pesan singkat yang informatif, sedapat mungkin mudah dicerna oleh pasien sehingga pasien tidak dibiarkan menjadi mahluk tak berdaya yang harus menunggu sambil bertanya-tanya dan membuat asumsi-asumsi yang berkembang menjadi lebih buruk dalam setiap detik penantiannya. Buat pasien tenang dengan informasi tersebut.

Terkadang ketika menunggu tindakan yang akan diberikan, pasien seringkali merasa diabaikan karena tidak ada konfirmasi dari petugas medis yang menanganinya. Lebih baik komunikasikan bila memang pasien harus menunggu beberapa saat untuk observasi terlebih dahulu.

Membangun komunikasi yang baik di saat gawat darurat memang sulit. Apalagi dalam kondisi tersebut tentunya yang lebih diutamakan adalah bagaimana menolong pasien secepatnya. Tapi tidak ada salahnya untuk mengurangi kesalahpahaman yang sering terjadi, kualitas berkomunikasi antara petugas medis dengan pasien perlu untuk terus ditingkatkan. Terlepas dari situasi gawat, pasien yang harus ditangani banyak dan betapa lelahnya petugas medis telah bekerja, sangat penting untuk tetap menjaga agar komunikasi dengan pasien berjalan baik.

Sudah seringkali kita mendengar keluhan pasien tentang dokter yang pendiam, tidak sabaran alias tidak mau mendengarkan keluhan pasien sampai tuntas, pelit informasi dsb. Pasti ada alasan mengapa akhirnya muncul persepsi yang memprihatinkan ini. Profesi dokter yang begitu mulia tidak seharusnya berakhir dengan stereotipe negatif semacam itu hanya dikarenakan kejadian yang seharusnya bisa diciptakan dengan lebih baik dan berkualitas.

Seandainya pun, dokter sudah sangat lelah karena padatnya aktifitas, pasien yang harus ditangani begitu banyak, jadual jaga yang tidak menyisakan waktu istirahat sama sekali dan seabrek alasan lain. Tapi masalahnya apakah pasien tahu dan memahaminya? Perlu diingat bahwa ketika seseorang terbaring sebagai pasien, ia hanya ingin diperiksa dan diperlakukan dengan sepenuh perhatian mungkin. Pada saat itu sensifitasnya akan meningkat, jadi boro-boro mau memikirkan, ’wah dokternya mungkin capek ya makanya dia jarang ngomong dan buru-buru..’ Yang akan terjadi justru sebaliknya, makanya kemudian berkembang persepsi negatif tersebut.

Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Jangan pernah lelah untuk menciptakan komunikasi yang baik. Dari beberapa kejadian, senjata ini terbukti cukup mujarab untuk membangun hubungan yang baik dengan pasien dan menghindari kesalahpahaman yang berujung dengan berbagai tuduhan malpraktik yang makin marak akhir-akhir ini. *

Epti Andaryanti, S. Sos, Praktisi Public Relations, Praktisi Public Relations, e-business dept PT Oto Multiartha–Sumitomo Corp

Sumber: Kompas Cyber Media

Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk

Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk

"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain

yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil."

- Immanuel Kant

BANGSA kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis.

DEMOKRASI per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman, adalah regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Jika demikian, menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum-eksekutif, legislatif, dan yudikatif-tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.

Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan Hannah Arendt, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya" di hadapan suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita" menjadi mungkin.

Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini. Ide tentang ruang publik politis dapat menjelaskan relevansi konsep klasik itu di dalam masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia.

Apa itu ruang publik politis?

Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat" dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi" tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.

Jika interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi baik dan kedaulatan rakyat adalah satu dan sama. Konsep ruang publik politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era globalisasi ini.

Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (1). Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?

Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.

Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka.

Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan" (2). Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.

Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.

Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat (3).

Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar) (4).

Fungsi ruang publik politis

Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik dengan alasan pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis. Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik, sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif.

Masih basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden terjadi kor setuju yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda pendapat. Aklamasi dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale.

Negara Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan rakyat menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan yang menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya: rakyat.

Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, lembaga swadaya masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis, kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak lainnya dalam ruang publik memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara.

Ruang publik berfungsi baik secara politis jika secara "transparan" memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena. Transparansi itu hanya mungkin jika ruang publik tersebut otonom di hadapan kuasa birokratis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di masyarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di hadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Tanpa memenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi "ekstensi" pasar dan negara belaka.

Tentu sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan kebutuhannya. Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita (5).

Tipe pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong reformasi adalah contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahirnya ruang publik politis di negeri kita.

Para aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang mengancam hak-hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang setiap upaya merepresi kelompok-kelompok minoritas dan marjinal. Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh civic courage dan civic friendship yang tumbuh di antara warga negara. Ini tampak, misalnya, dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan, atau menayangkan berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya, tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun birokrasi: dalam gerakan pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga yang memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang publik autentik.

Tipe kedua-"ruang publik tak autentik"– adalah kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya.

Setelah gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun 1998, ruang publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan birokrasi. Menumbuhkan ruang publik berarti tidak hanya multiplikasi ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol kiprah para pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari budaya bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke partisipasi politis, dari watak massa ke komunitas.

Di dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat berfungsi secara benar dalam ruang publik politis jika otonom tidak hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan yang dapat memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin lepas sama sekali dari para aktor tipe kedua, tetapi ia dapat dan seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang mencerminkan kepublikan seluas-luasnya.

Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik

Sudah dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka kanal-kanal komunikasi politis dalam masyarakat majemuk. Sementara dalam revolusi bisa saja sistem negara berubah, dalam reformasi sistem negara hukum yang telah ada diradikalkan secara komunikatif. Reformasi tak lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan ruang publik politis.

Menurut Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem politik (6). Habermas, menurut hemat saya, berhasil menjelaskan suatu persoalan besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam masyarakat kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban, minoritas, dan seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan sistem politik. Model diskursivitas antara ruang publik dan sistem politik dapat menjelaskan itu.

Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tak ada.

Di sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur demokratis: filter dalam ruang publik politis itu sendiri dan filter sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini publik jika lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja dimanipulasi ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi opini macam itu tetap akan dipersoalkan autentisitasnya selama publik tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya.

Segala yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intimidasi-jika pengujian publik dibuka-tidak dapat dihitung sebagai opini publik. Tentu saja manipulasi dan intimidasi bisa sangat terancang secara sistemis, seperti misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang selama rezim teror itu dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan terbukti sebagai manipulasi.

Tidak dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis ikut bermain menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik politis itu. Tidak hanya ada figur-figur berpengaruh, melainkan juga lembaga- lembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun, sekali lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini yang dipengaruhi oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik.

Kita menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa dibasmi jika publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan rahasia-menyembunyikan diri dari sorotan publik. Rapat atau longgarnya filter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik itu sendiri. Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam masyarakat itu mengembangkan filternya. Koran-koran yang provokatif memang dibiarkan, tetapi jika provokasi politis dikenali sebagai provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah mencari sensasi akan berimigrasi ke bidang-bidang lain, misalnya seni, gaya hidup, atau erotisme.

Jika publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara argumen-argumen dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri.

Perjuangan mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu opini publik masuk ke dalam filter sistem politik. Dalam sistem politik terdapat juga suatu publik. Publik di sini memiliki kualitas berbeda daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang terakhir ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses mereka dalam pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden, kabinet, lembaga yudikatif, dan seterusnya.

Filter sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan produk perundang-undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari hasil komunikasi politis sebelumnya antara ruang publik politis dan sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga tidak boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang masuk ke dalam filter itu dan meraih mayoritas di dalam sistem legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik: produk hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang bersifat resmi.

Suatu masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat kita sebut sebagai masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat juga. Suatu masyarakat yang memiliki gairah demokratisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya lemah, tak akan sanggup menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk memaksakan kehendaknya. Ini terjadi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu sistem politik yang otonom dari masyarakatnya dan cenderung berjalan menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang publik politis itu. Ini terjadi dalam totalitarianisme.

Sebuah negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih sumber loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.

Ide tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat merekonstruksi konsep klasik tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi massa untuk memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum demokratis batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati, tetapi batas-batas itu tidak boleh dijaga terlalu kaku. Respek terhadap batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai upaya-upaya untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya.

Pemahaman tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokrasi langsung. Jika kita menerima ide ruang publik politis, kita harus menerima suatu model demokrasi representatif sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam negara-negara hukum modern. Namun, demokrasi representatif itu berada dalam kontrol publik dengan jaringan-jaringan kerjanya. Kontrol publik lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan sistem politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat majemuk.

F Budi Hardiman Pengajar Program Magister Filsafat STF Driyarkara dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan

Catatan:
1. Lihat Habermas, J, Strukturwandel der Oeffenlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 38
2. Lihat Budi Hardiman, F, Demokratie als Diskurs, (tesis tak diterbitkan), Munich, 1996, hlm 15
3. Lihat Habermas, J, Faktizitaet und Geltung, Shurkamp, Frankfurt aM, 1992, hlm 443
4. Budi Hardiman, hlm 52
5. Bdk Habermas, J, Strukturwandel der Oeffentlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 28
6. Lihat Budi Hardiman, hlm 57

Sumber: Kompas Cyber Media

Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia

Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia

Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka tahun itu sebagai titik tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang (diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa.

Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.

Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.

Masalah model

Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?

Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.

Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Multikulturalisme

Buku yang disunting Hikmat Budiman ini perlu diapresiasi tinggi karena lima hal. Pertama, khususnya pada Bab Editorial, Hikmat Budiman mengungkapkan secara jernih kondisi dilematis multikulturalisme di Indonesia. Saya sepakat dengan penulis bahwa tidak satu pun dari tiga model dan kebijakan multikulturalisme di atas yang pas untuk kondisi Indonesia. Muncul kegamangan saat berhadapan dengan pertanyaan ”model apa yang sesuai untuk Indonesia?” Kegamangan yang sama ketika Kamanto Sunarto, Russell Hiang-Khng Heng, dan saya menyunting buku ”Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar”, (2004), Jurnal Antropologi UI, sebagai hasil suatu lokakarya tentang pendidikan multikultural di Asia Tenggara yang dihadiri pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Australia pada tahun itu. Dengan kata lain, perlu pemikiran lebih lanjut secara mendalam suatu model multikulturalisme seperti apa yang seyogianya dikembangkan di Tanah Air.

Kedua, buku ini mengangkat dan membicarakan isu baru dalam wacana multikulturalisme di Indonesia secara komprehensif, yakni isu minoritas, khususnya hak-hak minoritas, yang diperhadapkan dengan isu mayoritas sebagai konsekuensi kalau berbicara dalam wilayah konsep ini. Yang menarik dan penting disimak adalah analisis historis yang merekam peralihan dari kebijakan politik sentralistis ke desentralistis, persoalan-persoalan yang muncul di masa lampau ketika sistem otoritarian itu bekerja, dan agenda persoalan kini yang dihadapi sistem demokrasi yang baru dan gagasan multikulturalisme yang melekat pada sistem demokrasi tersebut.

Ketiga, buku ini membicarakan multikulturalime dari bawah ke atas, yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, oleh M Uzair Fauzan; pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat, oleh Heru Prasetia; masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan, oleh Riza Bachtiar; masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah, oleh Ignatius Yuli Sudaryanto; dan masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan oleh Samsurijal Adhan. Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk menjelaskan realitas di lapangan.

Keempat, meski dengan rendah hati editor mengemukakan bahwa sebagian dari penulis adalah masih peneliti yunior, saya justru menemukan tulisan- tulisan hasil penelitian ini seharusnya ditampilkan para penulis-peneliti senior. Isu, tema, dan analisis setiap tulisan menggambarkan penguasaan materi dan pendekatan yang baik sehingga secara keseluruhan buku ini penting dan bermutu untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai minoritas dan multikulturalisme itu baik dari segi konsep maupun model kebijakan politik kebudayaan.

Kelima, karena secara khusus menyoroti hak-hak minoritas, maka sangat relevan bahwa buku ini memasukkan dua tulisan penting, yakni tentang agama dan kebudayaan, isu minoritas dan multikulturalisme di Indonesia (Mochammad Nurkhoirun) serta hak-hak kelompok minoritas dalam norma dan standar hukum internasional hak asasi manusia (A Patra M.Zen). Dengan dua tulisan ini, buku ini membebaskan dirinya dari isolasi konsepsi lokal dan nasional karena isu multikulturalisme dan minoritas adalah juga isu global.

Saya sependapat dengan Hikmat Budiman bahwa tidak banyak karya yang terbit dengan pembahasan yang komprehensif mengenai multikulturalisme untuk konteks Indonesia. Apalagi kalau multikulturalisme tersebut dikaitkan dengan isu-isu lain yang melekat seperti minoritas, khususnya hak-hak minoritas. Maka, buku ini sangat penting bagi kita yang menaruh minat pada multikulturalisme dan minoritas khususnya, integrasi bangsa umumnya.

Achmad Fedyani Saifuddin Pengajar pada Departemen Antropologi FISIP UI

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm

"Manusia Bugis": Lapis Waktu

Pengantar "Manusia Bugis": Lapis Waktu

Setiap kali membaca buku sejarah dan kebudayaan yang ditulis dengan baik, setiap kali pula kita merasa berhadapan dengan sebentang peta yang digambar dengan apik. Yang ditemui di dalam karya itu memang bukan melulu lembaran peta ruang dengan bidang, jarak, koordinat, dan nama-nama tempat. Yang dihadapi di sana lebih merupakan peta waktu yang bergerak menjawab—sekaligus menciptakan—berbagai perubahan. Dan waktu yang dipetakan di sana adalah waktu yang silam, waktu yang dulunya ditakdirkan terkubur hilang dari pengetahuan manusia, atau mungkin tersisa sebagai reruntuhan yang tak lagi utuh, yang dijerat dalam berbagai bentuk fiksi.

Tentang waktu yang hilang ini, seorang sastrawan Perancis yang mengarang novel paling kompleks di abad ke-20 yang baru lewat menulis: ”Dan demikian pula dengan masa silam kita. Adalah kerja yang sia-sia untuk merengkuhnya kembali: segala upaya intelek kita niscaya akan berujung gagal. Masa silam lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, di seberang jangkauan intelek, di dalam obyek-obyek bendawi (dalam sensasi yang akan diruahkan oleh obyek-obyek bendawi itu pada kita) yang keberadaannya tak menilaskan pratanda apa pun. Dan bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, dapat tidaknya kita bersua dengan obyek-obyek itu sebelum pada akhirnya kita meninggal.” — Marcel Proust, In Search of Lost Time.

Tanpa memperkecil peran para cendekiawan Eropa lainnya, para cendekiawan Perancis tampaknya memang punya tempat khusus dalam gagasan tentang pemetaan waktu. Di simpang abad ke-19 dan ke-20, Marcel Proust dan Henri Bergson menggarap waktu yang berdenyut di dalam diri manusia, sementara Henri Poincare menggarap waktu kosmis yang dalam beberapa hal mendahului Albert Einstein. Di antara waktu kosmis dan waktu personal itu, ada waktu sosial—waktu sejarah. Di paruh pertama abad ke-20 sekumpulan ilmuwan Perancis yang kelak disebut sebagai ”Mazhab Annales” membentuk pendekatan baru dan revolusioner atas waktu sejarah. Dipelopori oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch, dan dikukuhkan lebih jauh antara lain oleh Fernand Braudel, berkembanglah pendekatan interdisipliner atas sejarah yang dikenal sebagai Total History. Di Indonesia pendekatan ini jelas terlihat pada karya-karya keilmuan Anthony Reid yang sangat berharga, dan terutama pada tiga jilid karya raksasa Denys Lombard, Le Carrefour Javanais.

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan terbitnya versi bahasa Indonesia karya raksasa Lombard itu, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 1996), terbit pula edisi bahasa Inggris dari karya besar Christian Pelras, The Bugis (London: Blackwell, 1996). Tampaknya betul bahwa setiap upaya intelektual yang dimatangkan oleh waktu dan tekanan adalah sebutir intan yang amat berharga. Buku Pelras yang ditopang oleh riset lapangan yang luas selama empat puluhan tahun ini adalah salah satu dari intan yang berharga itu. Ia akan melengkapi rangkaian intan yang sudah ada dalam khazanah pengetahuan sejarah kita, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Buku ini menjernihkan beberapa cahaya Manusia Bugis yang berkilau membutakan, sekaligus memperterang sejumlah cahaya lain yang redup oleh informasi yang tak memadai.

Meski banyak menganggap jazirah selatan Sulawesi sebagai sumber akar dan kampung halamannya, orang-orang Bugis hidup menyebar cukup luas di Asia Tenggara. Jejaknya terlihat di sejumlah tempat di wilayah utara dan barat laut Australia. Manusia Bugis yang jumlahnya sekitar empat juta jiwa itu, sebagaimana dinyatakan dalam buku ini, adalah salah satu di antara masyarakat paling menakjubkan di Asia Tenggara dan Pasifik, dan juga yang paling sedikit diketahui. Salah satu cahaya yang coba dijernihkan buku ini adalah citra mereka yang menyilaukan dalam legenda dan fiksi modern di mana mereka banyak dihadirkan sebagai lalu diidentikkan dengan bajak laut yang menggetarkan dan niagawan budak yang menggiriskan; seakan-akan perompakan di laut lepas sekaligus perdagangan budak belian adalah mata pencarian alamiah dan satu-satunya yang mampu dikerjakan oleh Manusia Bugis.

Tentu saja ada, dan banyak, orang Bugis yang hidup meniti buih di samudra luas. Namun, sebagian besar di antara mereka, terutama yang hidup di kampung halamannya, dalam kehidupan nyata memang adalah petani, pekebun, pedagang, dan nelayan pantai. Richard Leaky, pakar ternama asal-usul manusia, tentu akan menandaskan bahwa orang Bugis adalah bagian dari umat manusia yang nenek moyang terdekatnya adalah peramu dan pemburu; dan yang menjadi spesies modern karena membangun kemampuan beradaptasi yang mencengangkan, membangun bahasa, seni, sistem nilai, dan kecakapan teknologis.

Bahwa orang-orang Bugis adalah salah satu masyarakat Asia yang menjadi pemeluk teguh ajaran Islam, sudah ditegaskan oleh cukup banyak kepustakaan. Begitu teguh mereka memeluknya sehingga Islam dijadikan bagian dari jati diri mereka. Di Tanah Bugis orang bahkan bisa membuka sejarah perang pembebasan budak dua setengah abad lebih sebelum perang pembebasan budak meletup jadi perang saudara di Amerika Serikat. Namun, seperti juga dibahas oleh buku ini, masyarakat Bugis yang sangat dalam menyerap Islam itu di banyak wilayah tetap mempertahankan berbagai bentuk peninggalan religio-kultural pra-Islam.

Sementara itu, trah bangsawan tradisional Bugis yang selama ratusan tahun menempati lapisan teratas tatanan masyarakat, menandaskan diri sebagai keturunan langsung dari dewa-dewa purba. Namun, trah ningrat penuh warna ini bukanlah despot dengan kekuasaan absolut: mereka memperoleh kekuasaan dengan semacam konsensus sosial yang ditandaskan oleh rakyat yang menawarkan kekuasaan itu kepada mereka.

Di Tanah Bugis, dan di tanah saudara-saudaranya di Sulawesi Selatan, rakyat memang lebih dahulu ada ketimbang raja. Dan rakyat yang tak puas pada pemerintahan seorang raja bisa bertindak memakzulkan raja tersebut, atau membubarkan diri sebagai rakyat lalu berpindah menyeberangi laut untuk mendirikan komunitas baru yang lebih bermartabat, sambil mungkin tetap membawa cerita tentang tappi’ (pendamping jiwa), tentang kawali dan badik, yang memilih tuannya sendiri.

Pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan oleh Pelras dianggap sebagai salah satu kekuatan utama masyarakat Bugis. Buku yang bukan sekadar terjemahan tetapi penyempurnaan dari edisi bahasa Inggris ini mengangkat cukup banyak pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan itu. Membaca buku ini, kita pun bisa menyimpulkan bahwa Sulawesi memang istimewa bukan hanya secara geo-ekologis tetapi juga secara sosio-historis. Dari Alfred Russell Wallace kita mendapat penegasan betapa geologi dan ekologi Sulawesi berbeda dari geologi dan ekologi kawasan barat Nusantara yang menjadi bagian Asia, sekaligus juga berbeda dari geologi dan ekosistem kawasan timur Nusantara yang menjadi bagian Australia.

Dengan cara yang lain, Pelras mencoba menunjukkan bahwa di masa silam masyarakat di Sulawesi, khususnya masyarakat Bugis, menempuh sejarah yang berbeda dari Masyarakat Jawa yang begitu dalam menerima pengaruh India, proses yang oleh Lombard disebut sebagai ”mutasi pertama” dunia Jawa. Ada sejumlah argumen yang diajukan Pelras, tetapi yang paling menarik adalah kenyataan yang oleh Pelras dianggap istimewa, yakni kemampuan masyarakat Bugis membangun kerajaan-kerajaan yang tak berpusat di kota-kota. Kemampuan ini tentu merupakan kontras dari masyarakat Jawa yang kerajaan-kerajaannya berpusat di ibu kota yang ditata menurut sebuah struktur konsentris.

Hal lain yang menarik dari masyarakat Bugis adalah bahwa sekalipun mereka telah membangun kerajaan-kerajaan yang tidak berpusat di kota-kota, mereka juga membangun sejumlah struktur epistemik yang bisa dikatakan berpusat. Yang paling menonjol di antara semua struktur itu adalah epik mitologis La Galigo. Narasi besar yang berkisar pada apa yang dianggap sebagai genesis manusia dan kerajaan tertua yang dijunjung di Tanah Bugis ini adalah pusat yang dengannya masyarakat Bugis Lama menjangkarkan dan menata diri. Yang tertarik ke dalam gravitasi dan kemudian mengorbit di sekitar epik mitologis La Galigo ini bukan lagi kerajaan-kerajaan Bugis tapi juga beberapa kerajaan dan komunitas lain yang ada di luar semenanjung selatan Sulawesi. Tentu bukan hanya karena fungsi penataan dan pengaturan dunia yang disediakan oleh narasi raksasa La Galigo ini, yang ikut mendorong Pelras menjadikan La Galigo sebagai bahan bagi sebuah rekonstruksi hipotetik prasejarah Bugis.

Paling luas

Walau belum sebanyak kepustakaan tentang Jawa, kepustakaan tentang Bugis sudah banyak juga yang terbit. Sarjana-sarjana Bumiputera sendiri, seperti HA Mattulada dan Hamid Abdullah untuk menyebut beberapa nama, telah menghasilkan karya intelektual yang cukup penting di bidang ini. Namun, yang menarik dari karya Pelras adalah bahwa buku inilah yang pertama dan yang sejauh ini paling luas mengurai sejarah orang-orang Bugis. Cakupannya terentang dari kurun fajar antropologis sekitar 40.000 tahun yang silam yang darinya kelak memunculkan leluhur masyarakat Bugis, kurun peradaban awal yang sejumlah unsurnya dibingkai dalam siklus La Galigo, hingga ke masa kini—masa masuknya masyarakat Bugis menyongsong fajar alaf ketiga, setelah melebur diri ke dalam satuan sosial politik yang lebih besar.

Telaah Pelras yang luas dan telah menyedot hampir 2/3 dari usianya itu seakan mengupas lapis-lapis waktu yang membentuk sejarah dan kehidupan masyarakat Bugis: lapis-lapis waktu yang tanpa kegigihan para ilmuwan seperti Pelras akan benar-benar tertimbun lenyap di luar ranah pengetahuan, di seberang jangkauan jernih intelek.

Proust agaknya betul bahwa tergantung pada unsur nasib dan peluang saja seseorang dapat bersua dengan obyek bendawi dan sensasi yang diruahkan oleh obyek bendawi itu, yang memungkinkan seseorang menemukan dan menghidupkan kembali masa-masa yang sudah silam itu.

Dalam hal masyarakat Bugis, agaknya unsur kebetulan dan nasib baik—yang bagi sebagian cendekiawan Bugis bahkan terasa nyaris mendekati berkah—itu pula yang membuat mereka mendapatkan seorang Christian Pelras, seorang ilmuwan yang praktis tak punya hubungan kekerabatan apa pun dengan masyarakat Bugis, kecuali sekadar kekerabatan sebagai sesama anggota subspesies Homo sapiens sapiens.

Sudah umum diketahui bahwa sejak beberapa dekade yang silam, upaya-upaya intelektual para ilmuwan Barat mengaji negeri-negeri Timur telah mendapat tanggapan kritis bahkan mungkin sinis, dan mereka pun sebagian dicap orientalis yang merupakan perpanjangan tangan nafsu imperial untuk menundukkan Timur. Para ilmuwan Timur pun berupaya memanggul tanggung jawab meneliti dunia mereka sendiri, dan beberapa di antaranya telah menghasilkan karya dengan mutu intelektual yang menonjol. Apa yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan asing di negeri-negeri yang dikajinya, sebagiannya memang berupa penggambaran peta yang tak jarang sangat simplistis dan digunakan untuk membekukan sekaligus menundukkan wilayah itu. Namun harus juga diakui bahwa sejumlah peta sejarah yang dihasilkan oleh para ilmuwan asing itu sungguh lebih halus dan lebih realistis dari kebanyakan peta yang digambar atau diangankan oleh para cendekiawan pribumi sendiri. Peta masa silam Jawa yang disajikan Lombard, dan peta masa silam Bugis yang dihadirkan Pelras, adalah contoh dari peta-peta yang dimaksud.

Di bagian akhir buku ini Pelras mengangkat pertautan masyarakat Bugis kontemporer ke dunia global mutakhir yang berlangsung relatif tanpa guncangan dan penolakan kultural. Pertautan ke dunia yang sedang tumbuh itu, yang bagi sejumlah besar Bugis bahkan menjadi pilihan satu-satunya untuk tegak sebagai manusia, terdedah jelas dalam pemaparan naiknya lapis pemimpin dan masyarakat baru Bugis yang mengandalkan bukan pendakuan silsilah supramanusiawi. Mereka bangkit (tompo’) antara lain karena keyakinan akan nasib (toto’) yang wajib ditawar dan dibentuk sendiri di tengah segala keperitan, dan penguasaan pengetahuan rasional yang diserap dari berbagai tempat di luar Tanah Bugis, sampai ke belahan bumi yang lain.

Ada memang sejumlah anasir dalam kebudayaan Bugis yang membuat perengkuhan atas dunia global mutakhir—yang menaruh hormat pada gagasan tentang universalitas akal yang menuntun dan manusia yang bertindak—menjadi sesuatu yang tampak organik. Pelras misalnya menyajikan bagaimana kebudayaan Bugis menyediakan ruang bagi gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai), dan bagaimana perempuan menduduki tempat yang benar-benar sejajar dengan lelaki, dengan hak setara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan kerajaan sekaligus bertakhta memerintah kerajaan itu. Dalam sejumlah peristiwa, bahkan di masa ketika abad ke-20 belum menjelang tiba dan Simone de Beauvoir belum mengarang The Second Sex, perempuan telah tampil lebih bernyali dan berotak dari para lelaki, menandaskan keputusan-keputusan penting yang mempertaruhkan masa depan kerajaan.

Kesetaraan gender dan penyediaan ruang pada gender yang lain itu adalah sebagian dari hal-hal yang membuat tercengang banyak penjelajah Eropa yang pernah singgah di Tanah Bugis. Meski tak terlalu panjang lebar, Pelras menyajikan banyak hal dari tradisi Bugis yang tampak mendahului zamannya, yang beberapa di antaranya juga terdapat di bagian lain di Asia dan Pasifik, dan dengan itu menyangkal sekali lagi banyak gagasan usang tentang Dunia Timur, sekaligus menandaskan adanya kesamaan dan potensi universal umat manusia yang akan berkembang rimbun jika keadaan dibuat memungkinkan.

Mungkin kelak akan ada orang yang dengan bekal antara lain peta Bugis Pelras berhasil mengangkat sejumlah tempat penting yang telah tertimbun waktu, namun senantiasa disebut dalam puisi epik La Galigo. Kemungkinan lain adalah bahwa sejumlah ilmuwan dan peneliti, dengan bantuan teknologi yang makin halus, akhirnya membuktikan betapa peta yang disusun Pelras ternyata, pada beberapa bagian, memang tak terlalu akurat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

Namun, bahkan sejarah kartografi dunia pun dipenuhi oleh sejumlah kekeliruan yang terus-menerus dikoreksi; kekeliruan yang selain telah membantu manusia mengubah dunia di abad-abad yang silam, juga kini dihargai sebagai karya seni yang ikut merekam perkembangan pandangan dunia manusia.

Peta waktu Bugis Pelras pun, termasuk peta prasejarah yang dengan tegas dan rendah hati dikatakannya sebagai hipotetik itu jelas akan membantu banyak pihak, bukan hanya Manusia Bugis yang terus berupaya membentuk masa depannya sekaligus masa depan tempat-tempat di mana kaki-kaki fisiologis dan imajiner mereka berpijak.

Di tangan para sarjana seperti Lombard, Pelras, dan sederet nama lain, etnologi dan etnografi yang punya akar pada pelukisan kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap barbar, berkembang menjadi persembahan yang hangat dan murah hati dari satu bangsa ke bangsa yang lain, sesuatu yang sungguh kian dibutuhkan dalam dunia yang memang tak punya batas yang tak tertembus, namun yang kadang masih ingin disekat dan dibuat kedap oleh batas-batas bikinan manusia sendiri.

Nirwan Ahmad Arsuka, Esais, ewa001@gmail.com

Sumber:Kompas Cyber Media

Blog Archive

Blog Archive

About Me